ARTIKEL FISIOTERAPI
ABSTRAK
R I S A L,
Nim : PO. 714. 241. 092. 029. Skiripsi “Beda Pengaruh Contract Relax Stretching
dengan Strain – Counterstrain Technique terhadap Penurunan Nyeri pada Penderita
Sindrome Piriformis di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar 2010”,
dibimbing oleh : Hendrik, sebagai pembimbing I dan Sudaryanto, sebagai
pembimbing II.
Sindrome piriformis merupakan gangguan neuromuskular yang terjadi
ketika saraf sciatic terkompresi atau teriritasi oleh otot piriformis yang
menyebabkan nyeri, kesemutan, dan mati rasa atau rasa kebas pada daerah bokong
dan sepanjang perjalanan saraf sciatic ke bawah yaitu kearah paha dan tungkai.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beda pengaruh besarnya penurunan
nyeri pada penderita sindrome piriformis. Jenis penelitian ini adalah quasi
eksperimen dengan cara pengumpulan data melaui pre test dan pos test two group
design, kelompok I menggunakan Contract
Relax Stretching dan kelompok II menggunakan Strain-Counterstrain Technique, populasi dalam penelitian ini
adalah pasien di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar yang berjumlah 20
orang. Dalam penelitian ini pengambilan sampel menggunakan purposive sampling
dengan kriteria yang telah ditentukan, dengan jumlah sampel 20 orang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian Contract Relax Stretching dapat menghasilkan penurunan nyeri dengan
rerata selisih 2,260 dan Strain-Counterstrain
Technique dapat menurunkan nyeri dengan rerata selisih 2,560. Sedangkan
hasil Uji Wilcoxon pada kelompok perlakuan I diperoleh nilai p = 0,005 (p<
0,05) dan pada kelompok perlakuan II diperoleh nilai p = 0,005 (p< 0,05)
yang berarti bahwa pemberian Contract
Relax Stretching dengan Strain-Counterstrain
Technique dapat menghasilkan pengaruh yang bermakna terhadap penurunan
nyeri pada penderita sindrome. sedangkan hasil Uji Mann-Whitney diperoleh nilai
p = 0,025 (p< 0,05) dan dapat dilihat dari nilai rerata kedua kelompok
perlakuan yaitu 2,560 dari pada kelompok perlakuan I yaitu sebesar 2,260. Hal
ini menunjukkan bahwa Strain-Counterstrain
Technique dapat menghasilkan penurunan nyeri yang lebih besar secara
bermakna daripada Contract Relax
Stretching.
Dengan demikian, pemberian Strain-Counterstrain
lebih efektif dalam menurunkan nyeri daripada Contract Relax Stretching.
Kata kunci : Contract Relax
Stretching, Strain-Counterstrain
Technique, Sindrome Piriformis.
PENDAHULUAN
Upaya
manusia di bidang kesehatan pada era pembangunan ini telah membawa perubahan
konsep pelayanan kesehatan. Konsep pelayanan kesehatan dari berbagai disiplin
ilmu kesehatan diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan baik individu
maupun masyarakat. Disamping itu, permasalahan kesehatan saat ini telah
bergeser dari pola penyakit menular ke pola penyakit tidak menular termasuk
penyakit akibat trauma dan degenerasi. Salah satu penyakit yang banyak
menyerang populasi usia produktif dan usia tua adalah low back pain.
Gangguan
nyeri pinggang dapat dialami oleh semua, tidak memandang tua, muda wanita atau
pria. Sebagian besar dari nyeri pinggang disebabkan karena otot-otot pada
pinggang sedikit lemah, sehingga pada saat melakukan gerakan yang kurang betul
atau berada pada suatu posisi yang cukup lama dapat menimbulkan peregangan yang
ditandai dengan rasa sakit (Diana Samara, 2003).
Keluhan
nyeri pinggang pernah dialami oleh 50-80% penduduk di negara-negara Industri
(Mink 1986, Kramer 1981, Haenen et al 1984, RKZ Zieknhuis 1988) dan
menghilangkan jam kerja yang sangat besar. Penelitian di Swedia (1971) menunjukkan
bahwa karyawan atau pekerja yang menderita nyeri pinggang mengalami kehilangan
11 juta hari kerja pertahun. Ben et al (1975) menyatakan di Inggris kehilangan
13,2 juta hari kerja pertahun bagi karyawan yang mengalami nyeri pinggang.
Haenen et al (dalam Nugroho D.S 1991) dari tahun 1975 – 1978 melakukan
penelitian terhadap penderita nyeri pinggang dimana di dapatkan 51% pria dan
57% wanita mengeluh nyeri pinggang sedangkan 50% nya dalam beberapa waktu tidak
bugar untuk bekerja dan 8% harus alih pekerjaan (http://Piriformis_syndrome.htm).
Sekitar
70% dan 80% populasi di dunia mengalami nyeri pinggang pada suatu waktu selama
masa kehidupannya, dan diantaranya terdapat subkelompok pasien yang mengalami
nyeri pinggang sekaligus nyeri sciatic. Salah satu diagnosis yang dapat
ditegakkan berdasarkan evaluasi pada pasien sciatica adalah sindrome piriformis
(Sara Douglas, 2002).
Sindrome piriformis umumnya
menimbulkan sciatic pain yang biasa dikenal dengan “ischialgia”. Adanya
kompresi pada saraf ischiadicus akibat gangguan pada otot piriformis (seperti
spasme/tightness), strain atau sacroiliaca dysfunction dapat menyebabkan
munculnya sciatic pain.
Sindroma piriformis adalah gangguan
neuromuskular yang terjadi karena saraf sciatica (nervus ischiadicus) terkompresi
atau teriritasi oleh otot piriformis sehingga menimbulkan nyeri, kesemutan, dan
mati rasa pada area bokong sampai perjalanan saraf sciatica. Sekitar 15% dari populasi
kasus sciatica (ischialgia) adalah sindroma piriformis (Wikipedia, 2010).
Hasil observasi pada tanggal 26
april 2010 di RS.Wahidin Sudirohusodo Makassar dengan data dari bulan Januari –
Maret 2010 terdapat 46 orang yang mengalami penyakit sindroma piriformis dari
666 pasien yang berkunjung. Hal ini menunjukkan jumlah yang cukup besar
penderita nyeri pinggang akibat sindrome piriformis.
Berbagai modalitas dan teknik
fisioterapi dapat diberikan pada kasus nyeri sciatic penderita sindrome
piriformis yaitu Contract Relax Stretching dengan Strain-Counterstrain technique.
Sugijanto (2009) menyatakan bahwa teknik Contract Relax Stretching merupakan
perpaduan teknik yang cocok untuk mengatasi problematik spasme (tightness) pada
otot. Efektifitas dari Contract Relax Stretching telah diteliti oleh Risal
(2009) dengan hasil menunjukkan penurunan nyeri yang bermakna pada penderita
sindrome piriformis. Sedangkan teknik Strain-Counterstrain (SCS) dapat
memberikan manfaat melalui pengaturan kembali secara automatik pada muscle
spindle, yang dapat membantu melaporkan panjang dan tonus otot. Proses ini
hanya terjadi ketika muscle spindle dalam posisi mengenakkan, dan biasanya
menghasilkan penurunan tonus yang berlebihan dan pelepasan spasme. Disamping
itu, teknik Strain-Counterstrain masih jarang diaplikasikan dalam klinik tetapi
aplikasi teknik Contract Relax Stretching sering digunakan dalam kondisi
sindrome piriformis.
Berdasarkan
uraian diatas penulis tertarik untuk meneliti apakah ada beda pengaruh Contract
Relax Stretching dengan Strain-Counterstrain Technique terhadap penurunan nyeri
pada spasme otot piriformis di RS. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini yaitu “Apakah
ada perbedaan pengaruh antara Contract Relax Stretching dengan Counterstrain Technique
terhadap penurunan nyeri pada Sindrome Piriformis ?”
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan
umum
Untuk
mengetahui perbedaan pengaruh antara Contract Relax Stretching dengan Strain-Counterstrain
Technique terhadap penurunan nyeri pada sindrome piriformis.
2. Tujuan
khusus
a. Untuk
mengetahui gambaran penderita nyeri pinggang akibat sindrome piriformis di
RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo.
b. Untuk
mengetahui besarnya pengaruh Countract Relax Stretching terhadap penurunan
nyeri pada sindrome piriformis.
c. Untuk
mengetahui besarnya pengaruh Strain-Counterstrain Technique terhadap penurunan
nyeri pada sindrome piriformis.
d. Untuk
mengetahui besarnya perbedaan pengaruh antara Contract Relax Stretching dengan Strain-Counterstrain
Technique terhadap penurunan nyeri pada sindrome piriformis.
TINJAUAN
PUSTAKA
Piriformis
syndrome adalah kondisi sebagai hasil ketika otot piriformis menekan saraf
sciatic dan mengiritasi serabut syaraf. Dan kondisi seperti ini akan menimbulkan
nyeri dimulai dari daerah pantat dan berjalan lurus kebawah pada area belakang
kaki. Faktor – faktor yang menyebabkan piriformis sindrome antara lain :
faktor abnormalitas postur, gangguan
saraf, gangguan sirkulasi darah dan faktor habitual postur yang jelek. Gejala
yang sering terjadi adalah nyeri ketika duduk, menaiki tangga, merangkak,
berjalan dan berlari. Syndrome ini tidak begitu umum dan hanya terjadi karena
sciatica.( www.Laura
Sindrome
piriformis merupakan sekumpulan gejala-gejala termasuk nyeri pinggang atau
nyeri bokong yang menyebar ke tungkai. Masih ada perbedaan pendapat dari para
ahli, apakah sindrome piriformis merupakan kondisi yang jelas ada dan menyebabkan
nyeri myofascial dari paha, hipertropi, dan nyeri tekan pada otot piriformis,
atau apakah sindrome piriformis merupakan kondisi kompresi dari saraf sciatic
yang menyebabkan nyeri neuropatik (Kelly Redden, 2009).
Sindrome
piriformis merupakan gangguan neuromuskular yang terjadi ketika saraf sciatic
terkompresi atau teriritasi oleh otot piriformis yang menyebabkan nyeri,
kesemutan, dan mati rasa atau rasa kebas pada daerah bokong dan sepanjang
perjalanan saraf sciatic ke bawah yaitu kearah paha dan tungkai. Diagnosa
kondisi ini sulit ditegakkan karena memiliki gambaran klinis yang mirip dengan
kompresi akar saraf spinal akibat herniasi diskus (Wikipedia, 2010).
Sindrome
piriformis merupakan kompresi yang reversible pada saraf sciatic oleh otot
piriformis. Kondisi ini dapat menyebabkan nyeri yang dalam dan hebat pada
daerah bokong, hip, dan sciatica, dengan radiasi nyeri kearah paha, tungkai,
kaki dan jari-jari kaki. Pada sindrome piriformis, ketegangan atau spasme otot
piriformis dapat menekan saraf sciatic kearah anterior dan inferior. Kondisi
nyeri hebat yang dihasilkan dapat menjadi kronik dan menimbulkan kelemahan
(Loren M. Fishman, 2009).
Kemampuan
untuk menetapkan sindrome piriformis memerlukan pemahaman yang baik tentang
struktur dan fungsi otot pirifomis serta hubungannya dengan saraf sciatic.
1. Anatomi
Biomekanik Piriformis
Otot
piriformis berperan sebagai eksternal rotator hip, abduktor hip yang lemah, dan
fleksor hip yang lemah, serta memberikan stabilitas postural selama ambulasi
dan berdiri. Otot piriformis berorigo pada permukaan anterior sacrum, biasanya
pada level vertebra S2 – S4, atau mendekati kapsul sacroiliaca joint. Otot ini
berinsersio pada bagian medial superior dari trochanter mayor melalui tendon
yang mengelilinginya dimana pada beberapa individu bersatu dengan tendon
obturator internus dan gemellus. Otot ini dipersarafi oleh saraf spinal S1
dan S2, dan kadang-kadang juga oleh L5 (Lori A. Boyajian
et al, 2007).
Otot
piriformis termasuk group otot external rotator hip bersama 5 otot lainnya
yaitu obturator externus dan internus, gemellus superior dan inferior, dan
quadratus femoris. Otot piriformis merupakan otot yang paling superior dari
group otot ini dan sedikit diatas dari hip joint (Nancy Hamilton and Kathryn
Luttgens, 2002).
Otot
piriformis memiliki variasi hubungan dengan saraf sciatic. Sebanyak 96%
populasi, memiliki saraf sciatic yang muncul pada foramen deep sciatic yang
besar sepanjang permukaan inferior dari otot piriformis. Namun terdapat 22%
populasi memiliki saraf sciatic yang memotong otot piriformis, split atau
membelah otot piriformis, atau kedua-duanya sehingga dapat menjadi faktor
resiko dari sindrome piriformis. Saraf sciatic berjalan secara sempurna melalui
muscle belly otot, atau saraf tersebut berjalan membelah dengan satu cabang
(biasanya bagian fibular) memotong otot piriformis dan cabang lainnya (biasanya
bagian tibial) berjalan kearah inferior atau superior sepanjang otot
piriformis. Jarang saraf sciatic muncul pada foramen sciatic yang besar
sepanjang permukaan superior dari otot piriformis (Lori A. Boyajian et al,
2007).
Saraf
sciatic merupakan seberkas saraf sensorik dan motorik yang meninggalkan fleksus
lumbosakralis dan menuju ke foramen infrapiriformis, kemudian keluar pada
permukaan belakang tungkai dipertengahan lipatan pantat. Saraf sciatic
mengandung saraf sensorik yang berasal dari radiks posterior L4 – S3.
Pada spasium poplitea, saraf sciatic bercabang dua dan jauh lebih ke distal
tidak lagi menyandang nama saraf sciatic (saraf ischiadikus). Kedua cabang
saraf tersebut adalah saraf peroneus komunis dan saraf tibialis (Mahar Mardjono
dan Priguna Sidharta, 2008).
2. Etiologi
Sindrome
piriformis memiliki dua tipe yaitu primer sindrome piriformis dan sekunder
sindrome piriformis. Primer sindrome piriformis memiliki penyebab anatomik
seperti saraf sciatic yang split terhadap otot piriformis atau jalur saraf
sciatic yang anomali. Sekunder sindrome piriformis terjadi sebagai akibat dari adanya
penyebab yang memicu kondisi ini seperti makrotrauma, mikrotrauma, efek massa
ischemic dan lokal iscemic. Diantara pasien-pasien sindrome piriformis terdapat
sedikitnya 15% kasus yang memiliki penyebab primer (primer sindrome piriformis)
(Lori A. Boyajian et al, 2007).
Sindrome
piriformis paling sering disebabkan oleh makrotrauma pada daerah bokong yang
menyebabkan inflamasi pada jaringan lunak, spasme otot, atau kedua-duanya, yang
menghasilkan kompresi saraf sciatic. Mikrotrauma dapat dihasilkan dari adanya
overuse (penggunaan yang berlebihan) dari otot piriformis seperti berjalan atau
berlari jarak jauh atau oleh adanya kompresi langsung. Sebagai contoh kompresi
langsung dapat dihasilkan dari repetitif trauma akibat duduk diatas permukaan
yang keras (Lori A. Boyajian et al, 2007).
Berbeda
dengan pendapat Samir Mehta et al (2006), yang menjelaskan tentang penyebab primer
dan sekunder sindrome piriformis. Penyebab primer terjadi karena adanya
kompresi langsung pada saraf seperti trauma atau akibat faktor intrinsik pada
otot piriformis termasuk variasi anomali pada anatomi otot, hipertropi otot,
inflamasi kronik otot, dan perubahan sekunder akibat trauma seperti adhesion.
Penyebab sekunder mencakup gejala-gejala akibat lesi massa pelvic, infeksi, dan
pembuluh darah yang anomali atau ikatan serabut yang melintasi saraf, bursitis
pada tendon piriformis, inflamasi sacroiliaca joint, dan kemungkinan myofascial
trigger point. Penyebab lainnya mencakup pseudoaneurysma pada arteri gluteal
inferior yang berdekatan dengan otot piriformis, sindrome bilateral piriformis
akibat duduk dalam waktu yang lama, cerebral palsy yang menyebabkan hipertoni
dan kontraktur otot piriformis, total hip arthroplasty, dan myositis ossificans.
3. Patologi
Terapan
Pada
saat otot piriformis memendek atau spasme akibat trauma atau overuse maka otot
tersebut dapat menekan atau menjepit saraf sciatic yang berada diantara otot
tersebut. Pada umumnya, kondisi ini dikenal sebagai “nerve entrapment atau
entrapment neuropathi”. Kondisi khususnya dikenal sebagai sindrome piriformis
yang menunjukkan gejala-gejala sciatica yang bukan berasal dari akar saraf
spinal dan/atau kompresi diskus spinal, tetapi melibatkan otot piriformis
diatasnya. Sekitar 15 – 30% populasi memiliki saraf sciatic yang berjalan
melalui atau memotong otot piriformis, lebih banyak daripada lewat dibawahnya
otot piriformis. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa orang-orang dengan
struktur anatomi tersebut memiliki insiden sindrome piriformis yang tinggi daripada
populasi umum (Wikipedia, 2010).
Otot
gluteus yang inaktif juga memfasilitasi perkembangan sindrome ini, karena otot
piriformis juga membantu ekstensi dan eksternal rotasi femur. Penyebab utama
dari inaktivitas otot gluteus adalah
reciproke inhibisi yang tidak diinginkan akibat adanya overaktif fleksor hip (iliopsoas
dan rectus femoris). Ketidakseimbangan ini biasanya terjadi karena fleksor hip
telah dilatih dengan sangat tegang dan singkat, seperti ketika seseorang duduk
dengan kedua hip fleksi (duduk sepanjang hari saat bekerja). Hal ini dapat
menghilangkan aktivasi gluteus, dan sinergis terhadap gluteus (hamstring,
adduktor magnus, dan piriformis) akan melakukan ekstra fungsi. Pada akhirnya,
otot piriformis akan mengalami hipertropi yang akan menghasilkan gejala khas. Overuse
injury yang menghasilkan sindrome piriformis dapat diakibatkan dari aktivitas
dalam posisi duduk yang melibatkan penggunaan kedua tungkai secara berlebihan seperti
saat rowing exercise dan bicycle exercise (Wikipedia, 2010).
Atlit
lari, sepeda dan atlit lainnya yang melakukan aktivitas gerakan tungkai ke
depan secara khusus peka terhadap perkembangan sindrome piriformis jika tidak
melakukan latihan stretching kearah lateral dan strengthening sebelum latihan
inti/pertandingan. Ketika terjadi ketidakseimbangan oleh gerakan lateral kedua
tungkai maka gerakan ke depan yang berulang-ulang dapat menyebabkan
disproporsional antara kelemahan abduktor hip dan ketegangan adduktor hip. Dengan
demikian, disproporsional antara lemahnya abduktor hip (gluteus medius) yang
dikombinasikan dengan ketegangan otot adduktor hip, dapat menyebabkan otot
piriformis memendek dan berkontraksi dengan sangat kuat. Peningkatan diatas 40%
pada ukuran piriformis maka penjebakan saraf sciatic tidak dapat dihindari. Hal
ini berarti bahwa abduktor hip tidak dapat bekerja dengan baik dan strain dapat
terjadi pada otot piriformis (Wikipedia, 2010).
Hasil
dari spasme otot dapat menjebak tidak hanya saraf sciatic tetapi juga saraf
pudendal. Saraf pudendal berperan mengontrol otot-otot bowels dan bladder.
Gejala-gejala penjebakan saraf pudendal mencakup kesemutan dan rasa kebas pada
area lipatan paha, dan dapat menyebabkan inkontinensia urine dan fecal
(Wikipedia, 2010).
Penyebab
lainnya dari sindrome piriformis adalah kekakuan (stiffness) atau hipomobile
dari sacroiliaca joint. Hal ini menghasilkan perubahan kompensasi pada pola
berjalan yang kemudian menyebabkan gaya shear pada origo otot piriformis dan
kemungkinan pada otot gluteus, sehingga tidak hanya terjadi malfungsi pada otot
piriformis tetapi juga menghasilkan sindrome nyeri pinggang lainnya (Wikipedia,
2010). Adanya hiperlordosis lumbal dan kontraktur fleksi hip dapat meningkatkan strain pada otot
piriformis dan dapat memicu terjadinya perkembangan gejala-gejala tersebut.
Perubahan pola berjalan juga dapat menyebabkan hipertropi otot piriformis dan
inflamasi kronik, yang dapat menyebabkan sindrome piriformis. Pasien-pasien
dengan kelemahan otot abduktor hip atau perbedaan panjang tungkai khususnya
dapat memicu sindrome ini. Selama fase menumpuh berjalan, otot piriformis
terulur saat hip menumpuh berat badan dalam posisi dipertahankan internal
rotasi. Pada saat hip masuk fase mengayun maka otot piriformis akan
berkontraksi untuk menuntun eksternal rotasi hip. Karena otot piriformis
dibawah kondisi strain selama siklus berjalan dan lebih besar peluang
terjadinya hipertropi daripada otot lainnya pada regio tersebut. Suatu
abnormalitas pola berjalan yang dipertahankan pada hip yang terlibat dalam
posisi peningkatan internal rotasi atau adduksi dapat meningkatkan strain otot
bahkan lebih besar (Samir Mehta, 2006).
Disamping
itu, sindrome piriformis dapat disebabkan oleh overpronasi kaki. Ketika kaki
overpronasi maka dapat menyebabkan knee berputar kearah medial, yang kemudian
menyebabkan otot piriformis menjadi aktif untuk mencegah over-rotasi knee. Hal
ini menyebabkan otot piriformis menjadi overuse dan oleh karenanya otot menjadi
tegang, yang akhirnya menyebabkan sindrome piriformis. Sindrome piriformis juga
berkaitan dengan injury jatuh (Wikipedia, 2010).
4. Gambaran
Klinis
Gejala-gejala
yang paling sering terjadi pada sindrome piriformis adalah meningkatnya nyeri
setelah duduk dalam waktu 15 – 20 menit. Beberapa pasien mengeluh nyeri diatas
otot piriformis (yaitu didaerah bokong), khususnya diatas perlekatan otot di
sacrum dan trochanter mayor bagian medial. Gejala-gejalanya dapat bersifat
serangan tiba-tiba atau bertahap, biasanya berkaitan dengan spasme otot
piriformis atau kompresi saraf sciatic. Pasien-pasien ini biasanya mengeluh
sulit berjalan dan nyeri saat internal rotasi ipsilateral tungkai/hip, seperti
yang terjadi selama posisi duduk cross-legg atau ambulasi (Lori A. Boyajian et
al, 2007).
Spasme
otot piriformis dan disfungsi sacral (seperti torsion) dapat menyebabkan stress
pada ligamen sacrotuberous. Stress ini dapat menyebabkan kompresi pada saraf
pudendal atau meningkatkan stress mekanikal pada tulang innominate sehingga
potensial menyebabkan nyeri pada lipatan paha dan pelvic. Kompresi pada cabang
fibular dari saraf sciatic seringkali menyebabkan nyeri atau paresthesia pada
posterior paha (Lori A. Boyajian et al, 2007).
Melalui
mekanisme kompensasi atau fasilitasi, sindrome piriformis dapat memberikan
kontribusi terhadap nyeri pada cervical, thoracal, dan lumbosacral, serta
gangguan gastrointestinal dan nyeri kepala (Lori A. Boyajian et al, 2007).
Tanda-tanda
klinis sindrome piriformis berkaitan secara langsung atau secara tidak langsung
terhadap spasme otot, menghasilkan kompresi saraf atau kedua-duanya. Nyeri
tekan saat palpasi ditemukan diatas otot piriformis khususnya diatas perlekatan
otot di trochanter mayor. Beberapa pasien juga mengalami nyeri tekan saat
palpasi di regio sacroiliaca joint, sulcus sciatic yang besar, dan otot
piriformis termasuk nyeri yang menjalar ke knee (Lori A. Boyajian et al, 2007).
Beberapa
pasien akan teraba seperti massa sosis di daerah bokong karena adanya kontraksi
otot piriformis. Kontraksi otot piriformis juga dapat menyebabkan eksternal rotasi
ipsilateral pada hip. Ketika pasien sindrome piriformis relaks dalam posisi
tidur terlentang maka kaki ipsilateral akan mengalami eksternal rotasi. Hal ini
menunjukkan adanya tanda positif sindrome piriformis. Adanya usaha aktif untuk
membawa kaki ke garis tengah tubuh akan menghasilkan nyeri. Beberapa pasien
dengan sindrome piriformis juga ditemukan positif Lasegue test, Freiberg test,
atau Pace sign, dan biasanya memperlihatkan antalgic gait. Tanda Lasegue adalah
nyeri yang terlokalisir ketika tekanan diaplikasikan diatas otot piriformis dan
tendonnya, khususnya ketika fleksi hip 90o disertai ekstensi knee.
Tanda Freiberg adalah nyeri yang dialami selama gerak pasif internal rotasi hip.
Kemudian tanda Pace muncul saat FAIR (fleksi, adduksi, dan internal rotasi)
yang melibatkan gejala-gejala sciatic. FAIR test dilakukan dalam posisi tidur
miring dengan tungkai yang terlibat di sisi atas, kemudian fleksikan hip 60o,
dan fleksi knee 60o – 90o. Sambil menstabilisasi hip, pemeriksa
melakukan internal rotasi dan adduksi hip dengan mengaplikasikan tekanan ke
bawah pada knee (Lori A. Boyajian et al, 2007).
Saraf
plexus sacral yang menginnervasi otot tensor fascia latae, gluteus minimus,
gluteus maximus, adductor magnus, quadratus femoris, dan obturator eksternus
juga akan teriritasi oleh otot piriformis. Kelemahan otot ipsilateral juga
dapat terjadi jika sindrome piriformis disebabkan oleh anomali anatomik atau
jika sindrome piriformis dalam kondisi kronik. Pada beberapa kasus, lingkup gerak
sendi juga mengalami penurunan pada internal rotasi hip ipsilateral (Lori A.
Boyajian et al, 2007).
A. Tinjauan Tentang Modalitas Fisioterapi
1. Contract
Relax Stretching
a.
Pengertian
Contract
Relax Stretching merupakan suatu teknik
yang menggunakan kontraksi isometrik yang optimal dari kelompok agonis yang
memendek, dilanjutkan dengan relaksasi kemudian diulur
Menurut Susan S. Adler (2000), Contract Relax adalah
kontraksi resisted isotonik pada otot yang spasme kemudian diikuti dengan
relaksasi dan dilakukan gerakan kearah peningkatan ROM. Sedangkan Stretching
adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu manuver terapeutik
yang didesain untuk memanjangkan struktur jaringan lunak yang memendek secara
patologis. (Carolyn Kisner, 1999). Jadi Contract Relax Stretching adalah suatu
teknik terapi latihan yang diawali dengan kontraksi resisted isotonik pada otot
yang spasme kemudian diikuti dengan relaksasi, dan akhirnya diaplikasikan
stretching untuk mengulur otot yang spasme.
b.
Prinsip Fisiologi
1) Autogenic
inhibisi (Inverse Stretch Refleks)
Ketika suatu
otot berkontraksi sangat kuat, terutama jika kategangan menjadi berlebihan,
maka secara tiba-tiba kontraksi menjadi terhenti dan otot relaksasi. Ralaksasi
ini sebagai respon terhadap ketegangan yang sangat kuat, yang dinamakan dengan
inverse stretch refleks atau autogenic inhibisi dan menyesuaikan dengan hukum
kedua Sherrington, yaitu jika otot mendapat stimulasi untuk berkontraksi, maka
otot antagonis menerima impuls untuk relaksasi.
2) Inhibisi
Reciprokal
Kita ketahui bahwa didalam medula spinalis terdapat
inhibisi prosinaptik. Serabut saraf afferant Ia dari muscle spindel otot
berjalan ke medula spinalis dan bersinaps dengan saraf motorik dari otot yang
sama (alpha motoneuron) serta bersinaps dengan interneuron inhibisi medula
spinalis yang kemudian bersinaps dengan saraf motorik dari otot antagonis.
Jika ada impuls dari muscle spindel yang dibawa oleh
serabut saraf Ia, maka impuls inhibisi postsinaptik melalui interneuron
inhibisi medula spinalis neuron-neuron motorik yang mempersarafi otot
antagonis. Kemudian impuls tersebut memfasilitasi neuron motoril dari otot yang
sama (agonis), sehingga otot tersebut berkontraksi, sehingga otot antagonis
mengalami relaksasi. Fenomena ini disebut inhibisi dan fasilitasi reciprokal,
karena adanya persarafan dalam medula spinalis.
3)
Respon Mekanikal
dan Neurofisiologi Otot Terhadap Stretch
Respon mekanikal otot terhadap peregangan bergantung
pada myofibir dan sarkomer otot. Setiap otot tersusun dari beberapa serabut
otot. Satu serabut otot terdiri atas beberapa myofibril. Serabut myofibril
tersusun dari beberapa sarkomer yang terletak sejajar dengan serabut otot.
Sarkomer merupakan unikm kontraktil dari myofibril dan terdiri atas filamen
aktin dan myosin yang saling overlepping. Sarkomer memberikan kemampuan pada
otot untuk berkontraksi dan relaksasi, serta mempunyai kemampuan elastisitas
jika diregangkan.
Ketika otot secara pasif diregangkan / diulur, maka
pemanjangan awal terjadi pada rangkaian komponen elastis (sarkomer) dan tension
meningkat secara drastis. Kemudian ketika gaya regangan dilepaskan maka setiap
sarkomer akan kembali ke posisi resting lenght. Kecenderungan otot untuk
kembali ke posisi resting lenght setelah peregangan disebut dengan elastisitas.
Respon neurofisiologi otot terhadap peregangan
bergantung pada struktur muscle spindle dan golgi tendon organ. Muscle spindle
merupakan organ sensorik utama dari otot dan tersusun dari serabut-serabut
intrafusal yang terletak paralel dengan serabut ekstrafusal. Muscle spindel
berfungsi untuk memonitor kecepatan dan durasi regangan/ penguluran serta rasa
terhadap perubahan panjang otot. Serabut muscle spindle dapat merasakan
cepatnya suatu otot terulur. Serabut saraf aferent primer (tipe Ia) dan
sekunder (tipe II) muncul dari muscle spindle dan bersinaps dengan alpha atau
gamma motoneuron secara berurutan, dan memfasilitasi kontraksi dari serabut
ekstrafusal dan interfusal. Golgi tendon organ terletak dekat dengan
musculotendineus juction, membungkus disekitar kedua ujung serabut ekstrafusal
dan sensitif terhadap ketegangan (tension) pada otot yang disebabkan oleh
peregangan pasif atau kontraksi otot secara aktif. Golgi tedon organ merupakan
mekanisme proteksi yang menginhibisi kontraksi otot yang kuat. Golgi tendon
organ mempunyai ambang rangsang yang sangat rendah untuk titik letup ( firing
impuls ) setelah kontraksi otot aktif dan mempunyai ambang rangsang yang tinggi
untuk titik letup (firing impuls) dengan peregangan pasif.
Ketika otot diregang / diulur dengan sangat cepat,
maka serabut efferent primer meregang alpha motoneuron pada medula spinalis dan
memfasilitasi kontraksi serabut ekstrafusal, yaitu meningkatkan ketegangan
(tension) pada otot. Hal ini dinamakan dengan monosynaptik refleks. Tetapi jika
peregangan dilakukan secara lambat pada otot, maka golgi tendon organ
terstimulasi dan menginhibisi ketegangan (tension) pada otot sehingga
memberikan pemanjangan pada komponen elastis otot yang paralel (sarkomer).
c.
Indikasi dan Kontraindikasi
Adapun
indikasi Contract Relax Stretching adalah :
1) Ketika Range Of Motion (ROM) atau jarak gerak sendi
terbatas karena adanya kontraktur adhesive dan terbentuknya scar tissue yang
memicu pemendekan pada jaringan connective tissue dan kulit.
2) Ketika
jarak gerak sendi terbatas karena adanya spasme atau tightness pada otot-otot
disekitar sendi.
Sedangkan
tujuan Contract Relax Stretching adalah :
1) Menurunkan
spasme atau tightness pada otot
2) Meningkatkan
ROM sendi
Adapun
kontraindikasi Contract Relax Stretching adalah :
1) Fraktur
2) Dislokasi
atau subluksasi
3) Peradangan
atau infeksi akut disekitar sendi
4) Trauma
akut pada otot.
d.
Prosedur Pelaksanaan
1) Posisi
pasien : tidur terlentang
2) Posisi
terapis : disamping pasien pada sisi kontralateral dari tungkai yang terlibat,
kemudian fleksi dan adduksikan hip disertai internal rotasi hip dengan
menggunakan kedua tangan terapis.
3) Pelaksanaan
: dalam posisi otot piriformis terulur maksimal (fleksi, adduksi dan internal
rotasi hip yang maksimal), kontraksikan otot piriformis dengan menyuruh pasien
menggerakkan kearah abduksi sedikit eksternal rotasi hip melawan tangan
terapis, kemudian pasien diminta relaks. Setelah relaks, kedua tangan terapis melakukan
penguluran maksimal pada otot piriformis sambil menekan knee kearah bawah.
2. Strain –
Counterstrain (SCS)
Jones
(1981) telah menunjukkan bahwa titik-titik nyeri hebat sangat berhubungan
dengan strain/sprain pada sendi atau otot, kronik atau akut, dan dapat
digunakan sebagai monitor. Tekanan yang diaplikasikan pada titik-titik nyeri
hebat tersebut diberikan pada saat tubuh atau bagian tubuh diposisikan secara
hati-hati dalam suatu metode untuk melepaskan atau menurunkan nyeri yang
dirasakan pada titik palpasi.
Ketika posisi yang mengenakkan dapat diperoleh
(dikenal sebagai “fine tuning” dalam SCS), dimana nyeri dapat menghilang dari
monitoring palpasi pada tender point, maka jaringan yang dirasakan terstress
akan menjadi paling relaks. Dalam pengalaman klinis menunjukkan bahwa metode
ini dapat memberikan rasa lebih enak saat palpasi daripada saat terasa tegang.
SCS dapat memberikan manfaat melalui pengaturan
kembali secara automatik pada muscle spindle, yang dapat membantu melaporkan
panjang dan tonus otot. Proses ini hanya terjadi ketika muscle spindle dalam
posisi mengenakkan, dan biasanya menghasilkan penurunan tonus yang berlebihan
dan pelepasan spasme. Ketika memposisikan bagian tubuh maka rasa enak atau
nyaman perlu diperhatikan pada saat jaringan mencapai posisi dimana nyeri dapat
hilang dari titik palpasi.
Pemberian posisi yang nyaman atau enak
dipertahankan selama 90 – 120 detik sehingga secara spontan seringkali terjadi
penurunan nyeri. Jones (1977) menjelaskan bahwa teknik ini bergantung pada
kemampuan untuk menghasilkan relaksasi secara refleks pada otot tegang yang
membatasi gerakan sendi.
Ketika sendi secara pasif diletakkan dalam
posisi tertentu, maka menghasilkan inhibisi stimulus nyeri hebat yang kemudian
akan meningkatkan lingkup gerak sendi secara signifikan. Ada 2 mekanisme SCS
yang terlibat dalam resolusi spasme atau hipertonus otot yaitu neurologis
resetting (pengaturan kembali sistem neurologis) yang melibatkan muscle spindle
dan aliran sirkulasi dari jaringan iskemik sebelumnya.
Tujuan akhir SCS pada pasien sindrome
piriformis adalah untuk memulihkan lingkup gerak normal dan menurunkan nyeri.
Tujuan ini dapat dicapai dengan menurunkan spasme otot piriformis.
Ada tiga lokasi tender point dalam aplikasi SCS
yaitu bidang tengah sacrum, otot piriformis, dan trochanter posteromedial.
Posisi pasien dalam aplikasi SCS adalah tidur tengkurap dengan sisi tubuh yang
gangguan di pinggir bed. Pemberian teknik SCS yaitu membawa tungkai yang
terganggu disamping luar bed dengan memposisikan kearah fleksi hip dan knee,
disertai dengan abduksi dan eksternal rotasi. Kemudian, diberikan kompresi
melalui axis longitudinal femur kearah sciatic notch. Gaya kompresi diberikan
selama 90 detik pada saat melakukan SCS.
B. Tinjauan Tentang Pengukuran Nyeri
Defenisi nyeri yang dianggap paling memadai dan paling banyak dialami di seluruh dunia adalah yang ditemukan oleh “The Internasional Association For Study Of Pain (IASP)” yang menyebutkan nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak nyaman, yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau berpotensial merusak jaringan atau menyatakan istilah kerusakan tersebut.
Nyeri adalah perasaan majemuk yang bersifat
subjektif yang disertai perasaan tidak enak, panas atau dingin, rasa tekan,
ngilu, linu, pegal sebagai akibat dari adanya stimulasi ataupun trauma dari
dalam dan luar tubuh. Hal ini mengakibatkan terangsangnya nociceptor pada saraf
perifer diatas nilai ambang rangsang, yang diteruskan ke kortex cerebri
kemudian diterjemahkan kedalam bentuk nyeri dengan bentuk dan kualitas
ransangan yang berbeda (Priguna Sidharta, 1983).
Secara sederhana
telah dipahami bahwa seseorang merasa nyeri bila terdapat rangsangan nyeri (noxious)
pada reseptor nyeri di perifer, yang dihantarkan ke sistem saraf pusat dan
berakhir di area somatto sensorik kortek serebri (area post sentralis). Namun
dengan berbagai penelitian selanjutnya didapatkan konsep nyeri tidaklah
sederhana yang dibayangkan.
Perasaan nyeri
tergantung pada pengaktifan serangkaian sel-sel saraf, yang meliputi reseptor
nyeri aferen primer, sel-sel saraf penghubung (inter neuron) di medulla
spinalis dan batang otak, sel-sel traktus asenden, sel-sel saraf di thalamus
dan sel-sel saraf di kortek serebri. Bermacam-macam reseptor nyeri primer
ditemukan dan memberikan persarafan di kulit, sendi-sendi, otot dan alat-alat-
dalam.
Pengaktifan reseptor
nyeri yang berbeda menghasilkan kualitas nyeri tertentu. sel-sel saraf nyeri
pada kornu dorsalis medulla spinalis berperan pada reflek nyeri atau ikut
mengatur pengaktifan sel-sel traktus asenden. Sel-sel saraf dari traktus
spinotalamikus membantu memberi tanda perasaan nyeri, sedangkan traktus lainnya
lebih berperan pada pengaktifan sistem kontrol desenden atau pada timbulnya
mekanisme motivasi-afektif.
1.
Komponen Nyeri
a.
Nosisepsi (Nociception)
Nosisepsi
merupakan deteksi kerusakan jaringan oleh tranduksi khusus pada serabut saraf A
– delta dan C. Tranduksi ini dapat dikelirukan oleh adanya proses inflamasi
atau perubahan saraf lingkungan di dekatnya.
b.
Persepsi Nyeri (Pain Perception).
Persepsi
nyeri muncul umumnya dipicu oleh rangsang nyeri, seperti luka atau penyakit.
Nyeri juga dapat ditimbulkan oleh lesi pada sistem saraf atau penyakit. Banyak
tenaga medis atau pasien tidak menyadari bahwa nyeri dapat muncul tanpa
aktivitas nosisepsi. Nyeri yang diakibatkan oleh kerusakan saraf kurang
berespon dengan pemberian analgetik dibandingkan nyeri yang diakibatkan oleh
kerusakan jaringan.
c.
Penderitaan (Suffering)
Penderitaan (Suffering)
merupakan respon negatif yang dipicu oleh nyeri dan juga oleh ketakutan,
kecemasan stress, hilangnya sesuatu yang dicintai dan keadaan-keadaan
psikologis lain. Cassel menyatakan, penderitaan muncul bila keutuhan fisik dan
psikis dari seseorang yang terancam.
d.
Tingkah laku nyeri (Pain Behaviour)
Tingkah aku nyeri dapat
muncul atau tidak pada individu yang mengalami kerusakan jaringan dan merupakan
akibat dari nyeri dan penderitaan. Contoh dari tingkah laku nyeri tersebut
adalah berteriak, meringis, pincang, berbaring, mencari pertolongan, kesehatan,
pincang, berbaring, mencari pertolongan kesehatan, menolak bekerja dan
sebagainya. Seluruh tingkah laku itu adalah nyata sebagai respon nyeri dan
mungkin dipengaruhi oleh lingkungan nyata atau diharapkan.
2.
Tipe
Nyeri Pinggang
Ada 2 tipe nyeri pinggang yaitu nyeri radikular dan nyeri
non-radikular (atau nyeri spondylogenik).
a.
Nyeri
radikular disebabkan oleh gangguan pada saraf spinal dan akar saraf khususnya
akibat dari kompresi mekanikal, sebagai contoh sciatica (ischialgia) (lihat
gambar). Nyeri radikular sangat jarang terjadi pada daerah thoracal. Jika nyeri
tersebut diduga muncul secara radikular tetapi dalam kenyataannya bukan
disebabkan oleh tekanan pada akar saraf melainkan akibat reaksi refleksogenik,
maka nyeri tersebut dikenal sebagai pseudoradikular.
b.
Nyeri
non-radikular atau spondylogenik berasal dari komponen-komponen vertebra
(spondyles) yang mencakup sendi-sendi, diskus intervertebral, ligamen dan
perlekatan otot. Contoh dari nyeri spondylogenik adalah referred pain yang
dirasakan pada area distal atau jauh dari sumber nyeri yang sebenarnya, seperti
nyeri yang dirasakan pada regio pantat (regio glutea) yang bersumber dari
gangguan pada sendi apophyseal (facet joint).
3. Pengukuran Nyeri
Untuk mengukur tingkat nyeri digunakan Skala nyeri Visual Analogue Scale (VAS) adalah pengukuran derajat nyeri dengan cara menunjuk satu titik pada garis skala nyeri (0 - 10 cm). Satu ujung menunjuk tidak nyeri dan ujung yang lain menunjukkan nyeri berat tidak terkontrol. Panjang garis mulai dari titik tidak nyeri sampai titik yang ditunjuk menunjukkan besarnya nyeri.
Kriteria
:
0 - 0,9
: Tidak nyeri
1 - 3,9 : Nyeri
ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4 - 6,9 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien
mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat
mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
7 - 9,9 : Nyeri berat (terkontrol) : secara obyektif
klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap
tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak
dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
4.
10 : Nyeri
sangat berat (tidak terkontrol) : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul.
KERANGKA
KONSEP
Sindrome
Piriformis merupakan neuritis perifer dari saraf sciatic yang disebabkan oleh
kondisi abnormal dari otot piriformis, juga sebagai kompresi yang reversible
pada saraf sciatic oleh otot piriformis. Sindrome piriformis dapat bersifat
primer dan sekunder. Primer sindrome piriformis umumnya berkaitan dengan
penyebab anatomik yaitu jalur saraf sciatic yang anomali, dan trauma langsung.
Sekunder sindrome piriformis umumnya berkaitan dengan mikrotrauma (overuse pada
otot piriformis), inflamasi sacroiliaca joint, bursitis pada tendon piriformis,
dan local ischemic. Sindrome piriformis ini menghasilkan gejala nyeri pada
bokong dan hip, namun jika terjadi entrapment pada saraf sciatic maka timbul
nyeri menjalar sampai dorsal paha dan tungkai. Gejala ini dapat menghambat
fungsional berjalan dimana pasien tidak bisa berdiri dan berjalan lama, serta
tidak bisa duduk bersila melantai.
Sindrome
piriformis dapat ditangani secara komprehensif dengan modalitas fisioterapi.
Pemberian Contract Relax Stretching dan Mobilisasi Saraf dapat menurunkan nyeri
dan spasme otot piriformis sehingga secara langsung dapat menurunkan nyeri
sciatic karena menurunnya iritasi pada saraf sciatic. Begitu pula,
A. Variabel Penelitian
1. Variabel
Bebas (Independen) :
a.
Contract Relax Stretching
b.
Counterstrain Teknique
2. Variabel
Terikat (Dependen) : Perubahan nyeri pada sindrome piriformis
B. Definisi Operasional
Berdasarkan
variabel penelitian diatas, maka akan dijelaskan definisi operasionalnya
sebagai berikut :
1. Sindrome
Piriformis merupakan neuritis perifer dari saraf sciatic yang disebabkan oleh
kondisi abnormal dari otot piriformis, juga sebagai kompresi yang reversible
pada saraf sciatic oleh otot piriformis. Sindrome piriformis dapat bersifat
primer dan sekunder. Primer sindrome piriformis umumnya berkaitan dengan
penyebab anatomik yaitu jalur saraf sciatic yang anomali, dan trauma langsung.
Sekunder sindrome piriformis umumnya berkaitan dengan mikrotrauma (overuse pada
otot piriformis), inflamasi sacroiliaca joint, bursitis pada tendon piriformis,
dan local ischemic.
2.
Contract Relax Stretching merupakan suatu teknik yang menggunakan kontraksi
isometrik yang optimal dari kelompok agonis yang memendek, dilanjutkan dengan
relaksasi kemudian diulur.
Prosedur Pelaksanaan
4) Posisi
pasien : tidur terlentang
5) Posisi
terapis : disamping pasien pada sisi kontralateral dari tungkai yang terlibat,
kemudian fleksi dan adduksikan hip disertai internal rotasi hip dengan
menggunakan kedua tangan terapis.
Pelaksanaan
: dalam posisi otot piriformis terulur maksimal (fleksi, adduksi dan internal
rotasi hip yang maksimal), kontraksikan otot piriformis dengan menyuruh pasien
menggerakkan kearah abduksi sedikit eksternal rotasi hip melawan tangan
terapis, kemudian pasien diminta relaks. Setelah relaks, kedua tangan terapis
melakukan penguluran maksimal pada otot piriformis sambil menekan knee kearah
bawah.
3.
Untuk mengetahui nyeri pada piriformis
syndrome digunakan alat ukur Skala nyeri Visual
Analogue Scale (VAS).
METODE
PENELITIAN
A.
Jenis
Penilitian
Jenis penelitian yang di gunakan dalam
penelitian ini adalah quasi
experiment dengan menggunakan desain penelitian pretest - posttest two group
design
Desain penelitian :
O1 X1 O2 à Kelompok Perlakuan I
O11 X2 O21 à Kelompok Perlakuan II
Keterangan :
O1 : Pre test
X1 : Pemberian Contract
Relax Stretching
O2 : Post test
O11 : Pre test
X2 :
Pemberian Strain-Counterstrain
O21 : Post test
B.
Tempat
Dan waktu penelitian
Tempat penelitian di lakukan di Poliklinik
Fisioterapi RS. Wahidin Sudirohusodo, selama
2 bulan yaitu bulan juni – agustus 2010.
C.
Populasi
Dan Sampel
1. Populasi
penelitian
Populasi penelitian adalah semua pasien nyeri
pinggang bawah yang datang berkunjung di Poliklinik Fisioterapi RS. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
2. Sampel
penelitian
Sampel penelitian adalah semua pasien sindrome piriformis yang memenuhi kriteria
inklusif yang ditetapkan oleh peneliti sebanyak 20 orang
3. Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel di lakukan dengan teknik purposive
sampling dengan kriteria inklusif yang ditetapkan oleh peneliti. Jumlah sampel
yang diperoleh dibagi kedalam 2 kelompok sampel yaitu kelompok perlakuan I
sebanyak 10 orang, dan kelompok perlakuan II sebanyak 10 orang. Adapun kriteria
inklusifnya adalah sebagai berikut :
a. Pasien
nyeri pinggang bawah akibat sindrome
piriformis
b. Tidak menunjukkan gejala-gejala HNP
c. Tidak memiliki riwayat
fraktur
d. Berusia 20-60 tahun
e. Bersedia menjadi responden.
D.
Hipotesis
Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian ini maka
hipotesis penelitian adalah:
Ada perbedaan pengaruh antara Contract Relax Stretching dengan Strain-Counterstain terhadap
perubahan nyeri pada penderita sindrome
piriformis.
E.
Teknik
Pengumpulan Data
Pengumpulan data melalui data primer yaitu
peneliti langsung mengambil data dengan cara mengukur perubahan nyeri pada setiap sampel dengan menggunakan Visual Analogue Scale (data pre test dan post tes).
F. Analisa dan pengolahan data
Teknik
pengolahan dan analisa
data menggunakan
bantuan program SPSS (Statistical Product For Service Solution) dengan Uji Wilcoxon dan Uji Mann-Whitney.
G. Instrumen
Penelitian
1. Visual Analogue Scale (VAS)
2. Blanko Pencatatan Nyeri
3. Alat
tulis menulis
H. Prosedur
Penelitian
Pada tahap awal, peneliti menyeleksi populasi
yang berkunjung di Poliklinik Fisioterapi RS. Wahidin Sudirohusodo dan berdasarkan kriteria
inklusif maka diperoleh jumlah sampel. Jumlah sampel yang didapatkan kemudian
diminta untuk bersedia menjadi responden dengan menandatangani surat pernyataan
kesediaan menjadi responden.
Pada tahap pelaksanaan, setiap sampel diukur intensitas nyerinya dengan alat Visual Analogue Scale sebagai
data pre test. Kemudian responden
yang masuk kedalam kelompok perlakuan I diberikan perlakuan Contract Relax Stretching dosis
yang ditetapkan, sedangkan responden
yang masuk kedalam kelompok perlakuan II diberikan perlakua Strain-Conterstrain sesuai dosis
yang ditetapkan. Setelah itu, pada akhir penelitian diukur
kembali intensitas nyerinya dengan Visual Analogue Scale sebagai data post test.
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan
menggunakan Uji Wilcoxon dan Uji Mann-Whitney kemudian dipaparkan dalam bentuk
tabel dan narasi.
A.
PEMBAHASAN
1. Karakteristik
Responden
Syndrome piriformis
merupakan kompresi yang reversible pada saraf sciatic oleh otot piriformis.
Kondisi ini dapat menyebabkan nyeri yang dalam dan hebat pada daerah bokong,
dengan radiasi nyeri sampai ke daerah tungkai.
Hasil penelitian diatas
menunjukkan bahwa penderita syndrome piriformis yang berkunjung di Poli Fisioterapi
RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar adalah paling banyak kelompok usia 37 –
42 tahun dan 50 – 56 tahun, sedangkan kelompok perlakuan II paling banyak
kelompok usia > 57 tahun dan 50 – 60 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
syndrome piriformis umumnya menyerang pada usia 37 tahun keatas. Pada usia 37
tahun keatas sudah terjadi penurunan anatomi dan fungsi otot seperti penurunan
elatisitas dan fleksibilitas otot. Disamping itu, kondisi ini lebih banyak
disebabkan oleh makrotrauma dan/atau mikrotrauma. Penyebab makrotrauma adalah
trauma langsung pada otot piriformis seperti jatuh terduduk, sedangkan penyebab
mikrotrauma adalah adanya repetitif trauma pada otot piriformis yang
berhubungan dengan overuse atau trauma minor yang berulang-ulang seperti
berjalan atau berlari dengan jarak yang jauh, atau sering duduk diatas
permukaan yang keras (Samir Mehta et al, 2006). Jika otot piriformis telah
mengalami penurunan fleksibilitas maka otot ini mudah mengalami cidera atau lesi
akibat overuse atau repetitif trauma sehingga mudah terjadi sindrome
piriformis.
Kemudian dari segi jenis
kelamin, baik kelompok perlakuan I maupun kelompok perlakuan II lebih banyak
perempuan yang mengalami syndrome piriformis daripada laki-laki. Hal ini
berkaitan dengan sudut otot Quadriceps femoris (Q angle) yang lebih lebar pada
wanita (os coxae-pelvis yang lebar) dibandingkan dengan laki-laki (Lori A.
Bayajian et al, 2007). Berdasarkan penelitian Samir Mehta et al (2006),
sindrome piriformis lebih banyak terkena pada perempuan daripada laki-laki
dengan rasio 6 : 1.
2.
Pengaruh Contract Relax Stretching
Terhadap Penurunan Nyeri
Berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan bahwa pemberian Contract
Relax Stretching dapat menghasilkan penurunan nyeri secara bermakna pada
penderita syndrome piriformis dengan rata-rata penurunan nyeri sebesar 2,260.
Sindrome piriformis
umumnya menimbulkan problem nyeri dan spasme pada otot piriformis. Kondisi
spasme ini bisa menyebabkan kompresi pada saraf ischiadicus sehingga
menimbulkan nyeri sciatica atau dikenal dengan ischialgia.
Contract Relax Stretching
merupakan salah satu teknik PNF yang bertujuan untuk menurunkan nyeri dan
spasme atau ketegangan otot, serta memanjangkan otot. Adanya efek autogenic
inhibisi yang dihasilkan oleh teknik ini dapat menyebabkan otot mengalami
relaksasi. Kontraksi yang maksimal dari otot yang spasme/tightness diikuti
dengan relaksasi pasca kontraksi akan menghasilkan respon autogenic inhibisi
sehingga otot yang spasme/tightness dapat mencapai relaksasi sempurna.
Kemudian, penambahan stretching setelah kontraksi akan menghasilkan efek
terapeutik yang lebih besar yaitu penurunan ketegangan otot dan pemanjangan
otot. Pada saat diberikan stretching terjadi rangsangan pada golgi tendon organ
dan muscle spindle yang dipersarafi oleh serabut saraf bermyelin tebal
(proprioceptor). Aktivitas dari serabut saraf bermyelin tebal akan menginhibisi
aktivitas nosisensorik yang kemudian menginhibisi ketegangan otot patologis
(spasme/tightmess) yang terjadi pada otot. Penurunan spasme/tightness pada otot
dapat menghasilkan pemanjangan pada komponen elastis otot yang paralel
(sarkomer).
Hal ini terbukti dari
hasil uji wilcoxon yang menunjukkan bahwa pemberian teknik Contract Relax Stretching dapat memberikan pengaruh yang bermakna
terhadap penurunan nyeri pada penderita syndrome piriformis.
3.
Pengaruh Strain-Counterstrain Terhadap
Penurunan Nyeri
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pemberian Strain-Counterstrain menghasilkan penurunan nyeri secara
bermakna pada penderita syndrome piriformis dengan rata-rata penurunan nyeri
sebesar 2,560.
Telah dijelaskan diatas bahwa sindrome piriformis
dapat menimbulkan nyeri pinggang dan/atau ischialgia. Problematik yang
ditimbulkan berasal dari spasme/tightness otot piriformis yang dapat memberikan
kompresi atau iritasi pada saraf ischiadicus. Strain-Counterstrain
merupakan teknik untuk menurunkan nyeri spinal dan/atau nyeri sendi lainnya
dengan memposisikan sendi secara pasif kedalam posisi yang menimbulkan rasa
paling enak, atau suatu teknik penurunan nyeri melalui penurunan dan penahanan
aktivitas propriceptor yang kurang tepat secara terus menerus. Pada kondisi
otot, penurunan nyeri dilakukan dengan memposisikan otot dalam posisi relaks
memendek yang menghasilkan penurunan nyeri.
Strain-Counterstrain
dapat memberikan manfaat melalui pengaturan kembali secara automatik pada
muscle spindle, yang dapat membantu melaporkan panjang dan tonus otot. Proses
ini hanya terjadi ketika muscle spindle dalam posisi mengenakkan, dan biasanya
menghasilkan penurunan tonus yang berlebihan dan pelepasan spasme. Pemberian
posisi yang nyaman atau enak dipertahankan selama 90 – 120 detik sehingga
secara spontan seringkali terjadi penurunan nyeri. Aplikasi tekanan jari-jari
tangan secara menetap pada lokasi tender point selama 90 detik disertai dengan
pemberian posisi yang nyaman akan menghasilkan penurunan nyeri melalui
mekanisme neurologis resetting dan aliran sirkulasi dari jaringan iskemik
sebelumnya. Mekanisme tersebut dapat menghasilkan penurunan nyeri yang
bermakna. Hal ini terbukti dari hasil uji wilcoxon yang menunjukkan bahwa
pemberian Strain-Counterstrain dapat
memberikan pengaruh yang bermakna terhadap penurunan nyeri pada penderita
syndrome piriformis.
4.
Beda Pengaruh antara Contract Relax
Stretching dengan Strain-Counterstrain terhadap penurunan nyeri.
Hasil penelitian
menunjukkan adanya perbedaan pengaruh antara Contract Relax Stretching dengan Strain-Counterstrain terhadap penurunan
nyeri pada penderita syndrome piriformis. Hal ini menunjukkan bahwa Strain-Counterstrain dapat menghasilkan
penurunan nyeri yang lebih besar secara bermakna daripada Contract Reax Stretching pada syndrome piriformis.
Strain-Counterstrain
merupakan teknik manipulasi yang menerapkan teknik ischemic compression yang
disertai dengan pemberian posisi nyaman pada jaringan yang patologis. Keadaan
ini menyebabkan stimulasi pada muscle spindle otot yang mengalami spasme
sehingga menghasilkan aktivasi proprioseptor yang mempersarafi muscle spindle.
Aktivitas proprioseptor akan menginhibisi impuls nosisensorik yang sebelumnya
aktif karena adanya patologi spasme/tightness. Disamping itu, rangsangan
terhadap muscle spindle menyebabkan terjadinya relaksasi secara refleks pada
otot yang spasme. Kemudian, teknik ischemic compression pada lokasi tender
point otot piriformis dapat menghasilkan aliran sirkulasi yang meningkat
setelah kompresi dilepas. Disamping itu, tekanan yang menetap pada tender point
tersebut dapat menghasilkan hambatan impuls nosisensorik sehingga saat kompresi
dilepaskan timbul rasa nyaman (nyeri berkurang) setelah beberapa menit (Leon
Chaitow, 2003).
Berbeda dengan efek
Contract Relax Stretching yang menghasilkan efek autogenic inhibisi yaitu saat
dirangsang terjadi kontraksi maksimal pada otot yang spasme/tightness maka akan
diikuti dengan relaksasi pada otot tersebut. Pencapaian relaksasi akan terjadi
secara maksimal saat diberikan stretching pasca kontraksi otot. Hal ini yang
menghasilkan penurunan spasme/tightness pada otot piriformis yang kemudian
menghasilkan penurunan nyeri.
Dengan melihat efek kedua
teknik tersebut maka Strain-Counterstrain memiliki efek yang lebih besar karena
menimbulkan stimulus pada muscle spindle dan memberikan hambatan impuls
nosisensorik sehingga menghasilkan penurunan nyeri yang lebih besar secara
bermakna dibandingkan dengan Contract Relax Stretching, sesuai dengan hasil
penelitian ini.
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil penelitian diatas, maka peneliti dapat menyimpulkan sebagai berikut :
1. Pemberian
Contract Relax Stretching dapat memberikan pengaruh yang bermakna terhadap penurunan
nyeri pada penderita sindrome piriformis.
2. Pemberian
Strain-Counterstrain dapat memberikan
pengaruh yang bermakna terhadap penurunan nyeri pada penderita sindrome
piriformis.
3.
Pemberian Strain-Counterstrain dapat menghasilkan penurunan nyeri yang lebih
besar secara bermakna daripada Contract
Relax Stretching pada penderita syndrome piriformis sehingga dapat
dikatakan bahwa Strain-Counterstrain lebih efektif dalam menghasilkan penurunan
nyeri daripada Contract Relax Stretching.
SARAN-SARAN
1.
Disarankan kepada laki-laki maupun perempuan
sebelum melakukan aktifitas terlebih dahulu melakukan penguluran pada otot
piriformis agar otot lebih siap bekerja.
- Disarankan kepada fisioterapis di Rumah Sakit atau dilahan praktek agar menggunakan intervensi Strain-Counterstrain sebagai modalitas utama untuk menurunkan nyeri pada penderita sindrome piriformis
- Disarankan kepada fisioterapis di Rumah Sakit atau dilahan praktek agar mengkombinasikan intervensi Strain-Counterstrain dengan Contract Relax Stretching sebagai modalitas terpilih untuk menurunkan nyeri pada penderita sindrome piriformis.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Carolyn Kisner, Lynn Allen Colby, 1996. Therapeutic Exercise Foundations And
Techniques, Third Edition, F.A. Davis Company, Philadelphia
2.
Diana Samara, 2003. Duduk Lama Dapat Sebabkan Nyeri Pinggang, Kompas, Jakarta (http://digilib.litbang.depkes.co.id,
diakses 26 April 2010).
3.
Kelly Redden, 2009. Piriformis Syndrome : the other great imitator, Resident Grand
Rounds.
4.
Leon Chaitow, 2003. Neuro-muscular Technique A Practitioner’s Guide to Sof Tissue
Manipulation, Thorsons Publishers Limited, Wellingborough.
5.
Loren M. Fishman, 2009. Piriformis Syndrome, Article, Humana Press Inc, Totowa, New York.
6.
Lori A. Boyajian et al, 2007. Diagnosis and Management of Piriformis Syndrome
: An Osteopathic Approach, Review Article, Vol. 108.
7.
Mahar Mardjono and Priguna Sidharta, 2008. Neurologi Klinis Dasar, PT. Dian Rakyat,
Jakarta.
8.
Nancy Hamilton, Kathryn Luttgens, Kinesiology Scientific Basis of Human Motion,
Mc Graw Hill, New York, 2002.
9.
Nathan L, 2008. Strain/Counterstrain, Uhl Publications, http://www.brainybetty.com,
acces at April, 23, 2010.
10.
Nugroho D.S., Neurofisiologi Nyeri dari Aspek Kedokteran (Makalah disampaikan
pada Pelatihan Penatalaksanaan Fisioterapi Komprehensif Pada Nyeri), Surakarta,
7 – 10 Maret 2001.
11.
Samir Mehta et al, 2006. Piriformis Syndrome, Article Extra-Spinal Disorders, Slipman.
12.
Sara Douglas, 2002. Sciatic Pain and Piriformis Syndrome, http://Gateway/d/Kalindra/
piri_np.htm, acces at March, 30, 2010.
13.
Soekidjo Notoatmodjo, 2002. Metode Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.
14.
Sugijanto, 2009. Introduksi Manual Spine, (Disampaikan pada Kuliah Program D.IV
Fisioterapi Makassar), Makassar, 18 – 20 Juni 2009.
15.
Sugiyono, 2007. Statistika Untuk Penelitian, CV. Alfabeta, Bandung.
16. Wikipedia,
2010. Piriformis Syndrome, http://en.wikipedia.org/wiki/Piriformis_
syndrome, acces at March, 30, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar