Minggu, 17 Maret 2013

Beda Pengaruh Contract Relax Stretching dengan Strain – Counterstrain Technique terhadap Penurunan Nyeri pada Penderita Sindrome Piriformis



ARTIKEL FISIOTERAPI

 
ABSTRAK


R I S A L, Nim : PO. 714. 241. 092. 029. Skiripsi Beda Pengaruh Contract Relax Stretching dengan Strain – Counterstrain Technique terhadap Penurunan Nyeri pada Penderita Sindrome Piriformis di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar 2010”, dibimbing oleh : Hendrik, sebagai pembimbing I dan Sudaryanto, sebagai pembimbing II.
Sindrome piriformis merupakan gangguan neuromuskular yang terjadi ketika saraf sciatic terkompresi atau teriritasi oleh otot piriformis yang menyebabkan nyeri, kesemutan, dan mati rasa atau rasa kebas pada daerah bokong dan sepanjang perjalanan saraf sciatic ke bawah yaitu kearah paha dan tungkai.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beda pengaruh besarnya penurunan nyeri pada penderita sindrome piriformis. Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan cara pengumpulan data melaui pre test dan pos test two group design, kelompok I menggunakan Contract Relax Stretching dan kelompok II menggunakan Strain-Counterstrain Technique, populasi dalam penelitian ini adalah pasien di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar yang berjumlah 20 orang. Dalam penelitian ini pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dengan kriteria yang telah ditentukan, dengan jumlah sampel 20 orang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian Contract Relax Stretching dapat menghasilkan penurunan nyeri dengan rerata selisih 2,260 dan Strain-Counterstrain Technique dapat menurunkan nyeri dengan rerata selisih 2,560. Sedangkan hasil Uji Wilcoxon pada kelompok perlakuan I diperoleh nilai p = 0,005 (p< 0,05) dan pada kelompok perlakuan II diperoleh nilai p = 0,005 (p< 0,05) yang berarti bahwa pemberian Contract Relax Stretching dengan Strain-Counterstrain Technique dapat menghasilkan pengaruh yang bermakna terhadap penurunan nyeri pada penderita sindrome. sedangkan hasil Uji Mann-Whitney diperoleh nilai p = 0,025 (p< 0,05) dan dapat dilihat dari nilai rerata kedua kelompok perlakuan yaitu 2,560 dari pada kelompok perlakuan I yaitu sebesar 2,260. Hal ini menunjukkan bahwa Strain-Counterstrain Technique dapat menghasilkan penurunan nyeri yang lebih besar secara bermakna daripada Contract Relax Stretching.
Dengan demikian, pemberian Strain-Counterstrain lebih efektif dalam menurunkan nyeri daripada Contract Relax Stretching.

Kata kunci : Contract Relax Stretching, Strain-Counterstrain Technique, Sindrome Piriformis.


PENDAHULUAN
Upaya manusia di bidang kesehatan pada era pembangunan ini telah membawa perubahan konsep pelayanan kesehatan. Konsep pelayanan kesehatan dari berbagai disiplin ilmu kesehatan diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan baik individu maupun masyarakat. Disamping itu, permasalahan kesehatan saat ini telah bergeser dari pola penyakit menular ke pola penyakit tidak menular termasuk penyakit akibat trauma dan degenerasi. Salah satu penyakit yang banyak menyerang populasi usia produktif dan usia tua adalah low back pain.
Gangguan nyeri pinggang dapat dialami oleh semua, tidak memandang tua, muda wanita atau pria. Sebagian besar dari nyeri pinggang disebabkan karena otot-otot pada pinggang sedikit lemah, sehingga pada saat melakukan gerakan yang kurang betul atau berada pada suatu posisi yang cukup lama dapat menimbulkan peregangan yang ditandai dengan rasa sakit (Diana Samara, 2003).
Keluhan nyeri pinggang pernah dialami oleh 50-80% penduduk di negara-negara Industri (Mink 1986, Kramer 1981, Haenen et al 1984, RKZ Zieknhuis 1988) dan menghilangkan jam kerja yang sangat besar. Penelitian di Swedia (1971) menunjukkan bahwa karyawan atau pekerja yang menderita nyeri pinggang mengalami kehilangan 11 juta hari kerja pertahun. Ben et al (1975) menyatakan di Inggris kehilangan 13,2 juta hari kerja pertahun bagi karyawan yang mengalami nyeri pinggang. Haenen et al (dalam Nugroho D.S 1991) dari tahun 1975 – 1978 melakukan penelitian terhadap penderita nyeri pinggang dimana di dapatkan 51% pria dan 57% wanita mengeluh nyeri pinggang sedangkan 50% nya dalam beberapa waktu tidak bugar untuk bekerja dan 8% harus alih pekerjaan (http://Piriformis_syndrome.htm).
Sekitar 70% dan 80% populasi di dunia mengalami nyeri pinggang pada suatu waktu selama masa kehidupannya, dan diantaranya terdapat subkelompok pasien yang mengalami nyeri pinggang sekaligus nyeri sciatic. Salah satu diagnosis yang dapat ditegakkan berdasarkan evaluasi pada pasien sciatica adalah sindrome piriformis (Sara Douglas, 2002).
Sindrome piriformis umumnya menimbulkan sciatic pain yang biasa dikenal dengan “ischialgia”. Adanya kompresi pada saraf ischiadicus akibat gangguan pada otot piriformis (seperti spasme/tightness), strain atau sacroiliaca dysfunction dapat menyebabkan munculnya sciatic pain.
Sindroma piriformis adalah gangguan neuromuskular yang terjadi karena saraf sciatica (nervus ischiadicus) terkompresi atau teriritasi oleh otot piriformis sehingga menimbulkan nyeri, kesemutan, dan mati rasa pada area bokong sampai perjalanan saraf sciatica. Sekitar 15% dari populasi kasus sciatica (ischialgia) adalah sindroma piriformis (Wikipedia, 2010).
Hasil observasi pada tanggal 26 april 2010 di RS.Wahidin Sudirohusodo Makassar dengan data dari bulan Januari – Maret 2010 terdapat 46 orang yang mengalami penyakit sindroma piriformis dari 666 pasien yang berkunjung. Hal ini menunjukkan jumlah yang cukup besar penderita nyeri pinggang akibat sindrome piriformis.
Berbagai modalitas dan teknik fisioterapi dapat diberikan pada kasus nyeri sciatic penderita sindrome piriformis yaitu Contract Relax Stretching dengan Strain-Counterstrain technique. Sugijanto (2009) menyatakan bahwa teknik Contract Relax Stretching merupakan perpaduan teknik yang cocok untuk mengatasi problematik spasme (tightness) pada otot. Efektifitas dari Contract Relax Stretching telah diteliti oleh Risal (2009) dengan hasil menunjukkan penurunan nyeri yang bermakna pada penderita sindrome piriformis. Sedangkan teknik Strain-Counterstrain (SCS) dapat memberikan manfaat melalui pengaturan kembali secara automatik pada muscle spindle, yang dapat membantu melaporkan panjang dan tonus otot. Proses ini hanya terjadi ketika muscle spindle dalam posisi mengenakkan, dan biasanya menghasilkan penurunan tonus yang berlebihan dan pelepasan spasme. Disamping itu, teknik Strain-Counterstrain masih jarang diaplikasikan dalam klinik tetapi aplikasi teknik Contract Relax Stretching sering digunakan dalam kondisi sindrome piriformis.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk meneliti apakah ada beda pengaruh Contract Relax Stretching dengan Strain-Counterstrain Technique terhadap penurunan nyeri pada spasme otot piriformis di RS. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
A.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini yaitu “Apakah ada perbedaan pengaruh antara Contract Relax Stretching dengan Counterstrain Technique terhadap penurunan nyeri pada Sindrome Piriformis ?”

B.       Tujuan Penelitian
1.    Tujuan umum
Untuk mengetahui perbedaan pengaruh antara Contract Relax Stretching dengan Strain-Counterstrain Technique terhadap penurunan nyeri pada sindrome piriformis.
2.    Tujuan khusus
a.    Untuk mengetahui gambaran penderita nyeri pinggang akibat sindrome piriformis di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo.
b.    Untuk mengetahui besarnya pengaruh Countract Relax Stretching terhadap penurunan nyeri pada sindrome piriformis.
c.    Untuk mengetahui besarnya pengaruh Strain-Counterstrain Technique terhadap penurunan nyeri pada sindrome piriformis.
d.   Untuk mengetahui besarnya perbedaan pengaruh antara Contract Relax Stretching dengan Strain-Counterstrain Technique terhadap penurunan nyeri pada sindrome piriformis.
TINJAUAN PUSTAKA
Piriformis syndrome adalah kondisi sebagai hasil ketika otot piriformis menekan saraf sciatic dan mengiritasi serabut syaraf. Dan kondisi seperti ini akan menimbulkan nyeri dimulai dari daerah pantat dan berjalan lurus kebawah pada area belakang kaki. Faktor – faktor yang menyebabkan piriformis sindrome antara lain : faktor  abnormalitas postur, gangguan saraf, gangguan sirkulasi darah dan faktor habitual postur yang jelek. Gejala yang sering terjadi adalah nyeri ketika duduk, menaiki tangga, merangkak, berjalan dan berlari. Syndrome ini tidak begitu umum dan hanya terjadi karena sciatica.( www.Laura

Sindrome piriformis merupakan sekumpulan gejala-gejala termasuk nyeri pinggang atau nyeri bokong yang menyebar ke tungkai. Masih ada perbedaan pendapat dari para ahli, apakah sindrome piriformis merupakan kondisi yang jelas ada dan menyebabkan nyeri myofascial dari paha, hipertropi, dan nyeri tekan pada otot piriformis, atau apakah sindrome piriformis merupakan kondisi kompresi dari saraf sciatic yang menyebabkan nyeri neuropatik (Kelly Redden, 2009).
Sindrome piriformis merupakan gangguan neuromuskular yang terjadi ketika saraf sciatic terkompresi atau teriritasi oleh otot piriformis yang menyebabkan nyeri, kesemutan, dan mati rasa atau rasa kebas pada daerah bokong dan sepanjang perjalanan saraf sciatic ke bawah yaitu kearah paha dan tungkai. Diagnosa kondisi ini sulit ditegakkan karena memiliki gambaran klinis yang mirip dengan kompresi akar saraf spinal akibat herniasi diskus (Wikipedia, 2010).
Sindrome piriformis merupakan kompresi yang reversible pada saraf sciatic oleh otot piriformis. Kondisi ini dapat menyebabkan nyeri yang dalam dan hebat pada daerah bokong, hip, dan sciatica, dengan radiasi nyeri kearah paha, tungkai, kaki dan jari-jari kaki. Pada sindrome piriformis, ketegangan atau spasme otot piriformis dapat menekan saraf sciatic kearah anterior dan inferior. Kondisi nyeri hebat yang dihasilkan dapat menjadi kronik dan menimbulkan kelemahan (Loren M. Fishman, 2009).
Kemampuan untuk menetapkan sindrome piriformis memerlukan pemahaman yang baik tentang struktur dan fungsi otot pirifomis serta hubungannya dengan saraf sciatic.
1.    Anatomi Biomekanik Piriformis
Otot piriformis berperan sebagai eksternal rotator hip, abduktor hip yang lemah, dan fleksor hip yang lemah, serta memberikan stabilitas postural selama ambulasi dan berdiri. Otot piriformis berorigo pada permukaan anterior sacrum, biasanya pada level vertebra S2 – S4, atau mendekati kapsul sacroiliaca joint. Otot ini berinsersio pada bagian medial superior dari trochanter mayor melalui tendon yang mengelilinginya dimana pada beberapa individu bersatu dengan tendon obturator internus dan gemellus. Otot ini dipersarafi oleh saraf spinal S1 dan S2, dan kadang-kadang juga oleh L5 (Lori A. Boyajian et al, 2007).
Otot piriformis termasuk group otot external rotator hip bersama 5 otot lainnya yaitu obturator externus dan internus, gemellus superior dan inferior, dan quadratus femoris. Otot piriformis merupakan otot yang paling superior dari group otot ini dan sedikit diatas dari hip joint (Nancy Hamilton and Kathryn Luttgens, 2002).
Otot piriformis memiliki variasi hubungan dengan saraf sciatic. Sebanyak 96% populasi, memiliki saraf sciatic yang muncul pada foramen deep sciatic yang besar sepanjang permukaan inferior dari otot piriformis. Namun terdapat 22% populasi memiliki saraf sciatic yang memotong otot piriformis, split atau membelah otot piriformis, atau kedua-duanya sehingga dapat menjadi faktor resiko dari sindrome piriformis. Saraf sciatic berjalan secara sempurna melalui muscle belly otot, atau saraf tersebut berjalan membelah dengan satu cabang (biasanya bagian fibular) memotong otot piriformis dan cabang lainnya (biasanya bagian tibial) berjalan kearah inferior atau superior sepanjang otot piriformis. Jarang saraf sciatic muncul pada foramen sciatic yang besar sepanjang permukaan superior dari otot piriformis (Lori A. Boyajian et al, 2007).
Saraf sciatic merupakan seberkas saraf sensorik dan motorik yang meninggalkan fleksus lumbosakralis dan menuju ke foramen infrapiriformis, kemudian keluar pada permukaan belakang tungkai dipertengahan lipatan pantat. Saraf sciatic mengandung saraf sensorik yang berasal dari radiks posterior L4 – S3. Pada spasium poplitea, saraf sciatic bercabang dua dan jauh lebih ke distal tidak lagi menyandang nama saraf sciatic (saraf ischiadikus). Kedua cabang saraf tersebut adalah saraf peroneus komunis dan saraf tibialis (Mahar Mardjono dan Priguna Sidharta, 2008).
2.    Etiologi
Sindrome piriformis memiliki dua tipe yaitu primer sindrome piriformis dan sekunder sindrome piriformis. Primer sindrome piriformis memiliki penyebab anatomik seperti saraf sciatic yang split terhadap otot piriformis atau jalur saraf sciatic yang anomali. Sekunder sindrome piriformis terjadi sebagai akibat dari adanya penyebab yang memicu kondisi ini seperti makrotrauma, mikrotrauma, efek massa ischemic dan lokal iscemic. Diantara pasien-pasien sindrome piriformis terdapat sedikitnya 15% kasus yang memiliki penyebab primer (primer sindrome piriformis) (Lori A. Boyajian et al, 2007).
Sindrome piriformis paling sering disebabkan oleh makrotrauma pada daerah bokong yang menyebabkan inflamasi pada jaringan lunak, spasme otot, atau kedua-duanya, yang menghasilkan kompresi saraf sciatic. Mikrotrauma dapat dihasilkan dari adanya overuse (penggunaan yang berlebihan) dari otot piriformis seperti berjalan atau berlari jarak jauh atau oleh adanya kompresi langsung. Sebagai contoh kompresi langsung dapat dihasilkan dari repetitif trauma akibat duduk diatas permukaan yang keras (Lori A. Boyajian et al, 2007).
Berbeda dengan pendapat Samir Mehta et al (2006), yang menjelaskan tentang penyebab primer dan sekunder sindrome piriformis. Penyebab primer terjadi karena adanya kompresi langsung pada saraf seperti trauma atau akibat faktor intrinsik pada otot piriformis termasuk variasi anomali pada anatomi otot, hipertropi otot, inflamasi kronik otot, dan perubahan sekunder akibat trauma seperti adhesion. Penyebab sekunder mencakup gejala-gejala akibat lesi massa pelvic, infeksi, dan pembuluh darah yang anomali atau ikatan serabut yang melintasi saraf, bursitis pada tendon piriformis, inflamasi sacroiliaca joint, dan kemungkinan myofascial trigger point. Penyebab lainnya mencakup pseudoaneurysma pada arteri gluteal inferior yang berdekatan dengan otot piriformis, sindrome bilateral piriformis akibat duduk dalam waktu yang lama, cerebral palsy yang menyebabkan hipertoni dan kontraktur otot piriformis, total hip arthroplasty, dan myositis ossificans.
3.    Patologi Terapan
Pada saat otot piriformis memendek atau spasme akibat trauma atau overuse maka otot tersebut dapat menekan atau menjepit saraf sciatic yang berada diantara otot tersebut. Pada umumnya, kondisi ini dikenal sebagai “nerve entrapment atau entrapment neuropathi”. Kondisi khususnya dikenal sebagai sindrome piriformis yang menunjukkan gejala-gejala sciatica yang bukan berasal dari akar saraf spinal dan/atau kompresi diskus spinal, tetapi melibatkan otot piriformis diatasnya. Sekitar 15 – 30% populasi memiliki saraf sciatic yang berjalan melalui atau memotong otot piriformis, lebih banyak daripada lewat dibawahnya otot piriformis. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa orang-orang dengan struktur anatomi tersebut memiliki insiden sindrome piriformis yang tinggi daripada populasi umum (Wikipedia, 2010).
Otot gluteus yang inaktif juga memfasilitasi perkembangan sindrome ini, karena otot piriformis juga membantu ekstensi dan eksternal rotasi femur. Penyebab utama dari  inaktivitas otot gluteus adalah reciproke inhibisi yang tidak diinginkan akibat adanya overaktif fleksor hip (iliopsoas dan rectus femoris). Ketidakseimbangan ini biasanya terjadi karena fleksor hip telah dilatih dengan sangat tegang dan singkat, seperti ketika seseorang duduk dengan kedua hip fleksi (duduk sepanjang hari saat bekerja). Hal ini dapat menghilangkan aktivasi gluteus, dan sinergis terhadap gluteus (hamstring, adduktor magnus, dan piriformis) akan melakukan ekstra fungsi. Pada akhirnya, otot piriformis akan mengalami hipertropi yang akan menghasilkan gejala khas. Overuse injury yang menghasilkan sindrome piriformis dapat diakibatkan dari aktivitas dalam posisi duduk yang melibatkan penggunaan kedua tungkai secara berlebihan seperti saat rowing exercise dan bicycle exercise (Wikipedia, 2010).
Atlit lari, sepeda dan atlit lainnya yang melakukan aktivitas gerakan tungkai ke depan secara khusus peka terhadap perkembangan sindrome piriformis jika tidak melakukan latihan stretching kearah lateral dan strengthening sebelum latihan inti/pertandingan. Ketika terjadi ketidakseimbangan oleh gerakan lateral kedua tungkai maka gerakan ke depan yang berulang-ulang dapat menyebabkan disproporsional antara kelemahan abduktor hip dan ketegangan adduktor hip. Dengan demikian, disproporsional antara lemahnya abduktor hip (gluteus medius) yang dikombinasikan dengan ketegangan otot adduktor hip, dapat menyebabkan otot piriformis memendek dan berkontraksi dengan sangat kuat. Peningkatan diatas 40% pada ukuran piriformis maka penjebakan saraf sciatic tidak dapat dihindari. Hal ini berarti bahwa abduktor hip tidak dapat bekerja dengan baik dan strain dapat terjadi pada otot piriformis (Wikipedia, 2010).
Hasil dari spasme otot dapat menjebak tidak hanya saraf sciatic tetapi juga saraf pudendal. Saraf pudendal berperan mengontrol otot-otot bowels dan bladder. Gejala-gejala penjebakan saraf pudendal mencakup kesemutan dan rasa kebas pada area lipatan paha, dan dapat menyebabkan inkontinensia urine dan fecal (Wikipedia, 2010).
Penyebab lainnya dari sindrome piriformis adalah kekakuan (stiffness) atau hipomobile dari sacroiliaca joint. Hal ini menghasilkan perubahan kompensasi pada pola berjalan yang kemudian menyebabkan gaya shear pada origo otot piriformis dan kemungkinan pada otot gluteus, sehingga tidak hanya terjadi malfungsi pada otot piriformis tetapi juga menghasilkan sindrome nyeri pinggang lainnya (Wikipedia, 2010). Adanya hiperlordosis lumbal dan kontraktur fleksi hip  dapat meningkatkan strain pada otot piriformis dan dapat memicu terjadinya perkembangan gejala-gejala tersebut. Perubahan pola berjalan juga dapat menyebabkan hipertropi otot piriformis dan inflamasi kronik, yang dapat menyebabkan sindrome piriformis. Pasien-pasien dengan kelemahan otot abduktor hip atau perbedaan panjang tungkai khususnya dapat memicu sindrome ini. Selama fase menumpuh berjalan, otot piriformis terulur saat hip menumpuh berat badan dalam posisi dipertahankan internal rotasi. Pada saat hip masuk fase mengayun maka otot piriformis akan berkontraksi untuk menuntun eksternal rotasi hip. Karena otot piriformis dibawah kondisi strain selama siklus berjalan dan lebih besar peluang terjadinya hipertropi daripada otot lainnya pada regio tersebut. Suatu abnormalitas pola berjalan yang dipertahankan pada hip yang terlibat dalam posisi peningkatan internal rotasi atau adduksi dapat meningkatkan strain otot bahkan lebih besar (Samir Mehta, 2006).
Disamping itu, sindrome piriformis dapat disebabkan oleh overpronasi kaki. Ketika kaki overpronasi maka dapat menyebabkan knee berputar kearah medial, yang kemudian menyebabkan otot piriformis menjadi aktif untuk mencegah over-rotasi knee. Hal ini menyebabkan otot piriformis menjadi overuse dan oleh karenanya otot menjadi tegang, yang akhirnya menyebabkan sindrome piriformis. Sindrome piriformis juga berkaitan dengan injury jatuh (Wikipedia, 2010).
4.    Gambaran Klinis
Gejala-gejala yang paling sering terjadi pada sindrome piriformis adalah meningkatnya nyeri setelah duduk dalam waktu 15 – 20 menit. Beberapa pasien mengeluh nyeri diatas otot piriformis (yaitu didaerah bokong), khususnya diatas perlekatan otot di sacrum dan trochanter mayor bagian medial. Gejala-gejalanya dapat bersifat serangan tiba-tiba atau bertahap, biasanya berkaitan dengan spasme otot piriformis atau kompresi saraf sciatic. Pasien-pasien ini biasanya mengeluh sulit berjalan dan nyeri saat internal rotasi ipsilateral tungkai/hip, seperti yang terjadi selama posisi duduk cross-legg atau ambulasi (Lori A. Boyajian et al, 2007).
Spasme otot piriformis dan disfungsi sacral (seperti torsion) dapat menyebabkan stress pada ligamen sacrotuberous. Stress ini dapat menyebabkan kompresi pada saraf pudendal atau meningkatkan stress mekanikal pada tulang innominate sehingga potensial menyebabkan nyeri pada lipatan paha dan pelvic. Kompresi pada cabang fibular dari saraf sciatic seringkali menyebabkan nyeri atau paresthesia pada posterior paha (Lori A. Boyajian et al, 2007).
Melalui mekanisme kompensasi atau fasilitasi, sindrome piriformis dapat memberikan kontribusi terhadap nyeri pada cervical, thoracal, dan lumbosacral, serta gangguan gastrointestinal dan nyeri kepala (Lori A. Boyajian et al, 2007).
Tanda-tanda klinis sindrome piriformis berkaitan secara langsung atau secara tidak langsung terhadap spasme otot, menghasilkan kompresi saraf atau kedua-duanya. Nyeri tekan saat palpasi ditemukan diatas otot piriformis khususnya diatas perlekatan otot di trochanter mayor. Beberapa pasien juga mengalami nyeri tekan saat palpasi di regio sacroiliaca joint, sulcus sciatic yang besar, dan otot piriformis termasuk nyeri yang menjalar ke knee (Lori A. Boyajian et al, 2007).
Beberapa pasien akan teraba seperti massa sosis di daerah bokong karena adanya kontraksi otot piriformis. Kontraksi otot piriformis juga dapat menyebabkan eksternal rotasi ipsilateral pada hip. Ketika pasien sindrome piriformis relaks dalam posisi tidur terlentang maka kaki ipsilateral akan mengalami eksternal rotasi. Hal ini menunjukkan adanya tanda positif sindrome piriformis. Adanya usaha aktif untuk membawa kaki ke garis tengah tubuh akan menghasilkan nyeri. Beberapa pasien dengan sindrome piriformis juga ditemukan positif Lasegue test, Freiberg test, atau Pace sign, dan biasanya memperlihatkan antalgic gait. Tanda Lasegue adalah nyeri yang terlokalisir ketika tekanan diaplikasikan diatas otot piriformis dan tendonnya, khususnya ketika fleksi hip 90o disertai ekstensi knee. Tanda Freiberg adalah nyeri yang dialami selama gerak pasif internal rotasi hip. Kemudian tanda Pace muncul saat FAIR (fleksi, adduksi, dan internal rotasi) yang melibatkan gejala-gejala sciatic. FAIR test dilakukan dalam posisi tidur miring dengan tungkai yang terlibat di sisi atas, kemudian fleksikan hip 60o, dan fleksi knee 60o – 90o. Sambil menstabilisasi hip, pemeriksa melakukan internal rotasi dan adduksi hip dengan mengaplikasikan tekanan ke bawah pada knee (Lori A. Boyajian et al, 2007).
Saraf plexus sacral yang menginnervasi otot tensor fascia latae, gluteus minimus, gluteus maximus, adductor magnus, quadratus femoris, dan obturator eksternus juga akan teriritasi oleh otot piriformis. Kelemahan otot ipsilateral juga dapat terjadi jika sindrome piriformis disebabkan oleh anomali anatomik atau jika sindrome piriformis dalam kondisi kronik. Pada beberapa kasus, lingkup gerak sendi juga mengalami penurunan pada internal rotasi hip ipsilateral (Lori A. Boyajian et al, 2007).



A.      Tinjauan Tentang Modalitas Fisioterapi
1.    Contract Relax Stretching
a.    Pengertian
Contract Relax Stretching merupakan suatu teknik yang menggunakan kontraksi isometrik yang optimal dari kelompok agonis yang memendek, dilanjutkan dengan relaksasi kemudian diulur
Menurut Susan S. Adler (2000), Contract Relax adalah kontraksi resisted isotonik pada otot yang spasme kemudian diikuti dengan relaksasi dan dilakukan gerakan kearah peningkatan ROM. Sedangkan Stretching adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu manuver terapeutik yang didesain untuk memanjangkan struktur jaringan lunak yang memendek secara patologis. (Carolyn Kisner, 1999). Jadi Contract Relax Stretching adalah suatu teknik terapi latihan yang diawali dengan kontraksi resisted isotonik pada otot yang spasme kemudian diikuti dengan relaksasi, dan akhirnya diaplikasikan stretching untuk mengulur otot yang spasme.
b.    Prinsip Fisiologi
1)   Autogenic inhibisi (Inverse Stretch Refleks)
Ketika suatu otot berkontraksi sangat kuat, terutama jika kategangan menjadi berlebihan, maka secara tiba-tiba kontraksi menjadi terhenti dan otot relaksasi. Ralaksasi ini sebagai respon terhadap ketegangan yang sangat kuat, yang dinamakan dengan inverse stretch refleks atau autogenic inhibisi dan menyesuaikan dengan hukum kedua Sherrington, yaitu jika otot mendapat stimulasi untuk berkontraksi, maka otot antagonis menerima impuls untuk relaksasi.
2)   Inhibisi Reciprokal
Kita ketahui bahwa didalam medula spinalis terdapat inhibisi prosinaptik. Serabut saraf afferant Ia dari muscle spindel otot berjalan ke medula spinalis dan bersinaps dengan saraf motorik dari otot yang sama (alpha motoneuron) serta bersinaps dengan interneuron inhibisi medula spinalis yang kemudian bersinaps dengan saraf motorik dari otot antagonis.
Jika ada impuls dari muscle spindel yang dibawa oleh serabut saraf Ia, maka impuls inhibisi postsinaptik melalui interneuron inhibisi medula spinalis neuron-neuron motorik yang mempersarafi otot antagonis. Kemudian impuls tersebut memfasilitasi neuron motoril dari otot yang sama (agonis), sehingga otot tersebut berkontraksi, sehingga otot antagonis mengalami relaksasi. Fenomena ini disebut inhibisi dan fasilitasi reciprokal, karena adanya persarafan dalam medula spinalis.
3)   Respon Mekanikal dan Neurofisiologi Otot Terhadap Stretch
Respon mekanikal otot terhadap peregangan bergantung pada myofibir dan sarkomer otot. Setiap otot tersusun dari beberapa serabut otot. Satu serabut otot terdiri atas beberapa myofibril. Serabut myofibril tersusun dari beberapa sarkomer yang terletak sejajar dengan serabut otot. Sarkomer merupakan unikm kontraktil dari myofibril dan terdiri atas filamen aktin dan myosin yang saling overlepping. Sarkomer memberikan kemampuan pada otot untuk berkontraksi dan relaksasi, serta mempunyai kemampuan elastisitas jika diregangkan.
Ketika otot secara pasif diregangkan / diulur, maka pemanjangan awal terjadi pada rangkaian komponen elastis (sarkomer) dan tension meningkat secara drastis. Kemudian ketika gaya regangan dilepaskan maka setiap sarkomer akan kembali ke posisi resting lenght. Kecenderungan otot untuk kembali ke posisi resting lenght setelah peregangan disebut dengan elastisitas.
Respon neurofisiologi otot terhadap peregangan bergantung pada struktur muscle spindle dan golgi tendon organ. Muscle spindle merupakan organ sensorik utama dari otot dan tersusun dari serabut-serabut intrafusal yang terletak paralel dengan serabut ekstrafusal. Muscle spindel berfungsi untuk memonitor kecepatan dan durasi regangan/ penguluran serta rasa terhadap perubahan panjang otot. Serabut muscle spindle dapat merasakan cepatnya suatu otot terulur. Serabut saraf aferent primer (tipe Ia) dan sekunder (tipe II) muncul dari muscle spindle dan bersinaps dengan alpha atau gamma motoneuron secara berurutan, dan memfasilitasi kontraksi dari serabut ekstrafusal dan interfusal. Golgi tendon organ terletak dekat dengan musculotendineus juction, membungkus disekitar kedua ujung serabut ekstrafusal dan sensitif terhadap ketegangan (tension) pada otot yang disebabkan oleh peregangan pasif atau kontraksi otot secara aktif. Golgi tedon organ merupakan mekanisme proteksi yang menginhibisi kontraksi otot yang kuat. Golgi tendon organ mempunyai ambang rangsang yang sangat rendah untuk titik letup ( firing impuls ) setelah kontraksi otot aktif dan mempunyai ambang rangsang yang tinggi untuk titik letup (firing impuls) dengan peregangan pasif.
Ketika otot diregang / diulur dengan sangat cepat, maka serabut efferent primer meregang alpha motoneuron pada medula spinalis dan memfasilitasi kontraksi serabut ekstrafusal, yaitu meningkatkan ketegangan (tension) pada otot. Hal ini dinamakan dengan monosynaptik refleks. Tetapi jika peregangan dilakukan secara lambat pada otot, maka golgi tendon organ terstimulasi dan menginhibisi ketegangan (tension) pada otot sehingga memberikan pemanjangan pada komponen elastis otot yang paralel (sarkomer).

c.    Indikasi dan Kontraindikasi
Adapun indikasi Contract Relax Stretching adalah :
1)   Ketika Range Of Motion (ROM) atau jarak gerak sendi terbatas karena adanya kontraktur adhesive dan terbentuknya scar tissue yang memicu pemendekan pada jaringan connective tissue dan kulit.
2)   Ketika jarak gerak sendi terbatas karena adanya spasme atau tightness pada otot-otot disekitar sendi.
Sedangkan tujuan Contract Relax Stretching adalah :
1)   Menurunkan spasme atau tightness pada otot
2)   Meningkatkan ROM sendi
Adapun kontraindikasi Contract Relax Stretching adalah :
1)   Fraktur
2)   Dislokasi atau subluksasi
3)   Peradangan atau infeksi akut disekitar sendi
4)   Trauma akut pada otot.
d.   Prosedur Pelaksanaan
1)   Posisi pasien : tidur terlentang
2)   Posisi terapis : disamping pasien pada sisi kontralateral dari tungkai yang terlibat, kemudian fleksi dan adduksikan hip disertai internal rotasi hip dengan menggunakan kedua tangan terapis.
3)   Pelaksanaan : dalam posisi otot piriformis terulur maksimal (fleksi, adduksi dan internal rotasi hip yang maksimal), kontraksikan otot piriformis dengan menyuruh pasien menggerakkan kearah abduksi sedikit eksternal rotasi hip melawan tangan terapis, kemudian pasien diminta relaks. Setelah relaks, kedua tangan terapis melakukan penguluran maksimal pada otot piriformis sambil menekan knee kearah bawah.
2.    Strain – Counterstrain (SCS)
   Jones (1981) telah menunjukkan bahwa titik-titik nyeri hebat sangat berhubungan dengan strain/sprain pada sendi atau otot, kronik atau akut, dan dapat digunakan sebagai monitor. Tekanan yang diaplikasikan pada titik-titik nyeri hebat tersebut diberikan pada saat tubuh atau bagian tubuh diposisikan secara hati-hati dalam suatu metode untuk melepaskan atau menurunkan nyeri yang dirasakan pada titik palpasi.
Ketika posisi yang mengenakkan dapat diperoleh (dikenal sebagai “fine tuning” dalam SCS), dimana nyeri dapat menghilang dari monitoring palpasi pada tender point, maka jaringan yang dirasakan terstress akan menjadi paling relaks. Dalam pengalaman klinis menunjukkan bahwa metode ini dapat memberikan rasa lebih enak saat palpasi daripada saat terasa tegang.
SCS dapat memberikan manfaat melalui pengaturan kembali secara automatik pada muscle spindle, yang dapat membantu melaporkan panjang dan tonus otot. Proses ini hanya terjadi ketika muscle spindle dalam posisi mengenakkan, dan biasanya menghasilkan penurunan tonus yang berlebihan dan pelepasan spasme. Ketika memposisikan bagian tubuh maka rasa enak atau nyaman perlu diperhatikan pada saat jaringan mencapai posisi dimana nyeri dapat hilang dari titik palpasi.
Pemberian posisi yang nyaman atau enak dipertahankan selama 90 – 120 detik sehingga secara spontan seringkali terjadi penurunan nyeri. Jones (1977) menjelaskan bahwa teknik ini bergantung pada kemampuan untuk menghasilkan relaksasi secara refleks pada otot tegang yang membatasi gerakan sendi.
Ketika sendi secara pasif diletakkan dalam posisi tertentu, maka menghasilkan inhibisi stimulus nyeri hebat yang kemudian akan meningkatkan lingkup gerak sendi secara signifikan. Ada 2 mekanisme SCS yang terlibat dalam resolusi spasme atau hipertonus otot yaitu neurologis resetting (pengaturan kembali sistem neurologis) yang melibatkan muscle spindle dan aliran sirkulasi dari jaringan iskemik sebelumnya.
Tujuan akhir SCS pada pasien sindrome piriformis adalah untuk memulihkan lingkup gerak normal dan menurunkan nyeri. Tujuan ini dapat dicapai dengan menurunkan spasme otot piriformis.
Ada tiga lokasi tender point dalam aplikasi SCS yaitu bidang tengah sacrum, otot piriformis, dan trochanter posteromedial. Posisi pasien dalam aplikasi SCS adalah tidur tengkurap dengan sisi tubuh yang gangguan di pinggir bed. Pemberian teknik SCS yaitu membawa tungkai yang terganggu disamping luar bed dengan memposisikan kearah fleksi hip dan knee, disertai dengan abduksi dan eksternal rotasi. Kemudian, diberikan kompresi melalui axis longitudinal femur kearah sciatic notch. Gaya kompresi diberikan selama 90 detik pada saat melakukan SCS.

B.       Tinjauan Tentang Pengukuran Nyeri

Defenisi nyeri yang dianggap paling memadai dan paling banyak dialami di seluruh dunia adalah yang ditemukan oleh “The Internasional Association For Study Of Pain (IASP)” yang menyebutkan nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak nyaman, yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau berpotensial merusak jaringan atau menyatakan istilah kerusakan tersebut.

Nyeri adalah perasaan majemuk yang bersifat subjektif yang disertai perasaan tidak enak, panas atau dingin, rasa tekan, ngilu, linu, pegal sebagai akibat dari adanya stimulasi ataupun trauma dari dalam dan luar tubuh. Hal ini mengakibatkan terangsangnya nociceptor pada saraf perifer diatas nilai ambang rangsang, yang diteruskan ke kortex cerebri kemudian diterjemahkan kedalam bentuk nyeri dengan bentuk dan kualitas ransangan yang berbeda (Priguna Sidharta, 1983).
Secara sederhana telah dipahami bahwa seseorang merasa nyeri bila terdapat rangsangan nyeri (noxious) pada reseptor nyeri di perifer, yang dihantarkan ke sistem saraf pusat dan berakhir di area somatto sensorik kortek serebri (area post sentralis). Namun dengan berbagai penelitian selanjutnya didapatkan konsep nyeri tidaklah sederhana yang dibayangkan.
Perasaan nyeri tergantung pada pengaktifan serangkaian sel-sel saraf, yang meliputi reseptor nyeri aferen primer, sel-sel saraf penghubung (inter neuron) di medulla spinalis dan batang otak, sel-sel traktus asenden, sel-sel saraf di thalamus dan sel-sel saraf di kortek serebri. Bermacam-macam reseptor nyeri primer ditemukan dan memberikan persarafan di kulit, sendi-sendi, otot dan alat-alat- dalam.
Pengaktifan reseptor nyeri yang berbeda menghasilkan kualitas nyeri tertentu. sel-sel saraf nyeri pada kornu dorsalis medulla spinalis berperan pada reflek nyeri atau ikut mengatur pengaktifan sel-sel traktus asenden. Sel-sel saraf dari traktus spinotalamikus membantu memberi tanda perasaan nyeri, sedangkan traktus lainnya lebih berperan pada pengaktifan sistem kontrol desenden atau pada timbulnya mekanisme motivasi-afektif.
1.             Komponen Nyeri
a.       Nosisepsi (Nociception)
Nosisepsi merupakan deteksi kerusakan jaringan oleh tranduksi khusus pada serabut saraf A – delta dan C. Tranduksi ini dapat dikelirukan oleh adanya proses inflamasi atau perubahan saraf lingkungan di dekatnya.
b.      Persepsi Nyeri (Pain Perception).
Persepsi nyeri muncul umumnya dipicu oleh rangsang nyeri, seperti luka atau penyakit. Nyeri juga dapat ditimbulkan oleh lesi pada sistem saraf atau penyakit. Banyak tenaga medis atau pasien tidak menyadari bahwa nyeri dapat muncul tanpa aktivitas nosisepsi. Nyeri yang diakibatkan oleh kerusakan saraf kurang berespon dengan pemberian analgetik dibandingkan nyeri yang diakibatkan oleh kerusakan  jaringan.
c.       Penderitaan (Suffering)
Penderitaan (Suffering) merupakan respon negatif yang dipicu oleh nyeri dan juga oleh ketakutan, kecemasan stress, hilangnya sesuatu yang dicintai dan keadaan-keadaan psikologis lain. Cassel menyatakan, penderitaan muncul bila keutuhan fisik dan psikis dari seseorang yang terancam.
d.      Tingkah laku nyeri (Pain Behaviour)
Tingkah aku nyeri dapat muncul atau tidak pada individu yang mengalami kerusakan jaringan dan merupakan akibat dari nyeri dan penderitaan. Contoh dari tingkah laku nyeri tersebut adalah berteriak, meringis, pincang, berbaring, mencari pertolongan, kesehatan, pincang, berbaring, mencari pertolongan kesehatan, menolak bekerja dan sebagainya. Seluruh tingkah laku itu adalah nyata sebagai respon nyeri dan mungkin dipengaruhi oleh lingkungan nyata atau diharapkan.

2.    Tipe Nyeri Pinggang
Ada 2 tipe nyeri pinggang yaitu nyeri radikular dan nyeri non-radikular (atau nyeri spondylogenik).
a.    Nyeri radikular disebabkan oleh gangguan pada saraf spinal dan akar saraf khususnya akibat dari kompresi mekanikal, sebagai contoh sciatica (ischialgia) (lihat gambar). Nyeri radikular sangat jarang terjadi pada daerah thoracal. Jika nyeri tersebut diduga muncul secara radikular tetapi dalam kenyataannya bukan disebabkan oleh tekanan pada akar saraf melainkan akibat reaksi refleksogenik, maka nyeri tersebut dikenal sebagai pseudoradikular.
b.    Nyeri non-radikular atau spondylogenik berasal dari komponen-komponen vertebra (spondyles) yang mencakup sendi-sendi, diskus intervertebral, ligamen dan perlekatan otot. Contoh dari nyeri spondylogenik adalah referred pain yang dirasakan pada area distal atau jauh dari sumber nyeri yang sebenarnya, seperti nyeri yang dirasakan pada regio pantat (regio glutea) yang bersumber dari gangguan pada sendi apophyseal (facet joint).

3.  Pengukuran Nyeri

Untuk mengukur tingkat nyeri digunakan Skala nyeri Visual Analogue Scale (VAS) adalah pengukuran derajat nyeri dengan cara menunjuk satu titik pada garis skala nyeri (0 - 10 cm). Satu ujung menunjuk tidak nyeri dan ujung yang lain menunjukkan nyeri berat tidak terkontrol. Panjang garis mulai dari titik tidak nyeri sampai titik yang ditunjuk menunjukkan besarnya nyeri.

        

Kriteria :
0 -  0,9 :   Tidak nyeri
1 - 3,9  :    Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4 - 6,9  :    Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
7 - 9,9  :    Nyeri berat (terkontrol) : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
4.  10         : Nyeri sangat berat (tidak terkontrol) : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.
KERANGKA KONSEP
Sindrome Piriformis merupakan neuritis perifer dari saraf sciatic yang disebabkan oleh kondisi abnormal dari otot piriformis, juga sebagai kompresi yang reversible pada saraf sciatic oleh otot piriformis. Sindrome piriformis dapat bersifat primer dan sekunder. Primer sindrome piriformis umumnya berkaitan dengan penyebab anatomik yaitu jalur saraf sciatic yang anomali, dan trauma langsung. Sekunder sindrome piriformis umumnya berkaitan dengan mikrotrauma (overuse pada otot piriformis), inflamasi sacroiliaca joint, bursitis pada tendon piriformis, dan local ischemic. Sindrome piriformis ini menghasilkan gejala nyeri pada bokong dan hip, namun jika terjadi entrapment pada saraf sciatic maka timbul nyeri menjalar sampai dorsal paha dan tungkai. Gejala ini dapat menghambat fungsional berjalan dimana pasien tidak bisa berdiri dan berjalan lama, serta tidak bisa duduk bersila melantai.
Sindrome piriformis dapat ditangani secara komprehensif dengan modalitas fisioterapi. Pemberian Contract Relax Stretching dan Mobilisasi Saraf dapat menurunkan nyeri dan spasme otot piriformis sehingga secara langsung dapat menurunkan nyeri sciatic karena menurunnya iritasi pada saraf sciatic. Begitu pula,
A.      Variabel Penelitian
1.    Variabel Bebas (Independen) :
a.    Contract Relax Stretching
b.    Counterstrain Teknique
2.    Variabel Terikat (Dependen) : Perubahan nyeri pada sindrome piriformis

B.       Definisi Operasional
Berdasarkan variabel penelitian diatas, maka akan dijelaskan definisi operasionalnya sebagai berikut :
1.    Sindrome Piriformis merupakan neuritis perifer dari saraf sciatic yang disebabkan oleh kondisi abnormal dari otot piriformis, juga sebagai kompresi yang reversible pada saraf sciatic oleh otot piriformis. Sindrome piriformis dapat bersifat primer dan sekunder. Primer sindrome piriformis umumnya berkaitan dengan penyebab anatomik yaitu jalur saraf sciatic yang anomali, dan trauma langsung. Sekunder sindrome piriformis umumnya berkaitan dengan mikrotrauma (overuse pada otot piriformis), inflamasi sacroiliaca joint, bursitis pada tendon piriformis, dan local ischemic.

2.      Contract Relax Stretching merupakan suatu teknik yang menggunakan kontraksi isometrik yang optimal dari kelompok agonis yang memendek, dilanjutkan dengan relaksasi kemudian diulur.
 Prosedur Pelaksanaan
4)   Posisi pasien : tidur terlentang
5)   Posisi terapis : disamping pasien pada sisi kontralateral dari tungkai yang terlibat, kemudian fleksi dan adduksikan hip disertai internal rotasi hip dengan menggunakan kedua tangan terapis.
Pelaksanaan : dalam posisi otot piriformis terulur maksimal (fleksi, adduksi dan internal rotasi hip yang maksimal), kontraksikan otot piriformis dengan menyuruh pasien menggerakkan kearah abduksi sedikit eksternal rotasi hip melawan tangan terapis, kemudian pasien diminta relaks. Setelah relaks, kedua tangan terapis melakukan penguluran maksimal pada otot piriformis sambil menekan knee kearah bawah.

3.      Untuk mengetahui nyeri pada piriformis syndrome digunakan alat ukur Skala nyeri Visual Analogue Scale (VAS).
METODE PENELITIAN
A.      Jenis Penilitian
Jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah quasi experiment dengan menggunakan desain penelitian pretest - posttest two group design
Desain penelitian :
O1                          X1                         O2 à Kelompok Perlakuan I
O11                          X2                         O21 à Kelompok Perlakuan II
Keterangan :
O1 : Pre test
X1 : Pemberian Contract Relax Stretching
O2 : Post test
O11 :  Pre test
X2    : Pemberian Strain-Counterstrain
O21 : Post test

B.     Tempat Dan waktu penelitian
Tempat penelitian di lakukan di Poliklinik Fisioterapi RS. Wahidin Sudirohusodo, selama 2 bulan yaitu bulan juni agustus 2010.
C.      Populasi Dan Sampel
1.    Populasi penelitian
Populasi penelitian adalah semua pasien nyeri pinggang bawah yang datang berkunjung di Poliklinik Fisioterapi RS. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
2.    Sampel penelitian
Sampel penelitian adalah semua pasien sindrome piriformis yang memenuhi kriteria inklusif yang ditetapkan oleh peneliti sebanyak 20 orang
3.    Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel di lakukan dengan teknik purposive sampling dengan kriteria inklusif yang ditetapkan oleh peneliti. Jumlah sampel yang diperoleh dibagi kedalam 2 kelompok sampel yaitu kelompok perlakuan I sebanyak 10 orang, dan kelompok perlakuan II sebanyak 10 orang. Adapun kriteria inklusifnya adalah sebagai berikut :
a. Pasien nyeri pinggang bawah akibat sindrome piriformis
b.  Tidak menunjukkan gejala-gejala HNP
c. Tidak memiliki riwayat fraktur
d.  Berusia 20-60 tahun
e.  Bersedia menjadi responden.

D.      Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian ini maka hipotesis penelitian adalah:
Ada perbedaan pengaruh antara Contract Relax Stretching dengan Strain-Counterstain terhadap perubahan nyeri pada penderita sindrome piriformis.

E.       Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data melalui data primer yaitu peneliti langsung mengambil data dengan cara mengukur perubahan nyeri pada setiap sampel dengan menggunakan Visual Analogue Scale (data pre test dan post tes).

F.       Analisa dan pengolahan data
Teknik pengolahan dan analisa data menggunakan bantuan program SPSS (Statistical Product For Service Solution) dengan Uji Wilcoxon dan Uji Mann-Whitney.

G.      Instrumen Penelitian
1.    Visual Analogue Scale (VAS)
2.    Blanko Pencatatan Nyeri
3.    Alat tulis menulis

H.      Prosedur Penelitian
Pada tahap awal, peneliti menyeleksi populasi yang berkunjung di Poliklinik Fisioterapi RS. Wahidin Sudirohusodo dan berdasarkan kriteria inklusif maka diperoleh jumlah sampel. Jumlah sampel yang didapatkan kemudian diminta untuk bersedia menjadi responden dengan menandatangani surat pernyataan kesediaan menjadi responden.
Pada tahap pelaksanaan, setiap sampel diukur intensitas nyerinya dengan alat Visual Analogue Scale sebagai data pre test. Kemudian responden yang masuk kedalam kelompok perlakuan I diberikan perlakuan Contract Relax Stretching dosis yang ditetapkan, sedangkan responden yang masuk kedalam kelompok perlakuan II diberikan perlakua Strain-Conterstrain sesuai dosis yang ditetapkan. Setelah itu, pada akhir penelitian diukur kembali intensitas nyerinya dengan Visual Analogue Scale sebagai data post test.
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan Uji Wilcoxon dan Uji Mann-Whitney kemudian dipaparkan dalam bentuk tabel dan narasi.
A.      PEMBAHASAN
1.    Karakteristik Responden
Syndrome piriformis merupakan kompresi yang reversible pada saraf sciatic oleh otot piriformis. Kondisi ini dapat menyebabkan nyeri yang dalam dan hebat pada daerah bokong, dengan radiasi nyeri sampai ke daerah tungkai.
Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa penderita syndrome piriformis yang berkunjung di Poli Fisioterapi RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar adalah paling banyak kelompok usia 37 – 42 tahun dan 50 – 56 tahun, sedangkan kelompok perlakuan II paling banyak kelompok usia > 57 tahun dan 50 – 60 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa syndrome piriformis umumnya menyerang pada usia 37 tahun keatas. Pada usia 37 tahun keatas sudah terjadi penurunan anatomi dan fungsi otot seperti penurunan elatisitas dan fleksibilitas otot. Disamping itu, kondisi ini lebih banyak disebabkan oleh makrotrauma dan/atau mikrotrauma. Penyebab makrotrauma adalah trauma langsung pada otot piriformis seperti jatuh terduduk, sedangkan penyebab mikrotrauma adalah adanya repetitif trauma pada otot piriformis yang berhubungan dengan overuse atau trauma minor yang berulang-ulang seperti berjalan atau berlari dengan jarak yang jauh, atau sering duduk diatas permukaan yang keras (Samir Mehta et al, 2006). Jika otot piriformis telah mengalami penurunan fleksibilitas maka otot ini mudah mengalami cidera atau lesi akibat overuse atau repetitif trauma sehingga mudah terjadi sindrome piriformis.
Kemudian dari segi jenis kelamin, baik kelompok perlakuan I maupun kelompok perlakuan II lebih banyak perempuan yang mengalami syndrome piriformis daripada laki-laki. Hal ini berkaitan dengan sudut otot Quadriceps femoris (Q angle) yang lebih lebar pada wanita (os coxae-pelvis yang lebar) dibandingkan dengan laki-laki (Lori A. Bayajian et al, 2007). Berdasarkan penelitian Samir Mehta et al (2006), sindrome piriformis lebih banyak terkena pada perempuan daripada laki-laki dengan rasio 6 : 1.
2.    Pengaruh Contract Relax Stretching Terhadap Penurunan Nyeri
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian Contract Relax Stretching dapat menghasilkan penurunan nyeri secara bermakna pada penderita syndrome piriformis dengan rata-rata penurunan nyeri sebesar 2,260.
Sindrome piriformis umumnya menimbulkan problem nyeri dan spasme pada otot piriformis. Kondisi spasme ini bisa menyebabkan kompresi pada saraf ischiadicus sehingga menimbulkan nyeri sciatica atau dikenal dengan ischialgia.
Contract Relax Stretching merupakan salah satu teknik PNF yang bertujuan untuk menurunkan nyeri dan spasme atau ketegangan otot, serta memanjangkan otot. Adanya efek autogenic inhibisi yang dihasilkan oleh teknik ini dapat menyebabkan otot mengalami relaksasi. Kontraksi yang maksimal dari otot yang spasme/tightness diikuti dengan relaksasi pasca kontraksi akan menghasilkan respon autogenic inhibisi sehingga otot yang spasme/tightness dapat mencapai relaksasi sempurna. Kemudian, penambahan stretching setelah kontraksi akan menghasilkan efek terapeutik yang lebih besar yaitu penurunan ketegangan otot dan pemanjangan otot. Pada saat diberikan stretching terjadi rangsangan pada golgi tendon organ dan muscle spindle yang dipersarafi oleh serabut saraf bermyelin tebal (proprioceptor). Aktivitas dari serabut saraf bermyelin tebal akan menginhibisi aktivitas nosisensorik yang kemudian menginhibisi ketegangan otot patologis (spasme/tightmess) yang terjadi pada otot. Penurunan spasme/tightness pada otot dapat menghasilkan pemanjangan pada komponen elastis otot yang paralel (sarkomer).
Hal ini terbukti dari hasil uji wilcoxon yang menunjukkan bahwa pemberian teknik Contract Relax Stretching dapat memberikan pengaruh yang bermakna terhadap penurunan nyeri pada penderita syndrome piriformis.
3.    Pengaruh Strain-Counterstrain Terhadap Penurunan Nyeri
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian Strain-Counterstrain menghasilkan penurunan nyeri secara bermakna pada penderita syndrome piriformis dengan rata-rata penurunan nyeri sebesar 2,560.
Telah dijelaskan diatas bahwa sindrome piriformis dapat menimbulkan nyeri pinggang dan/atau ischialgia. Problematik yang ditimbulkan berasal dari spasme/tightness otot piriformis yang dapat memberikan kompresi atau iritasi pada saraf ischiadicus. Strain-Counterstrain merupakan teknik untuk menurunkan nyeri spinal dan/atau nyeri sendi lainnya dengan memposisikan sendi secara pasif kedalam posisi yang menimbulkan rasa paling enak, atau suatu teknik penurunan nyeri melalui penurunan dan penahanan aktivitas propriceptor yang kurang tepat secara terus menerus. Pada kondisi otot, penurunan nyeri dilakukan dengan memposisikan otot dalam posisi relaks memendek yang menghasilkan penurunan nyeri.
Strain-Counterstrain dapat memberikan manfaat melalui pengaturan kembali secara automatik pada muscle spindle, yang dapat membantu melaporkan panjang dan tonus otot. Proses ini hanya terjadi ketika muscle spindle dalam posisi mengenakkan, dan biasanya menghasilkan penurunan tonus yang berlebihan dan pelepasan spasme. Pemberian posisi yang nyaman atau enak dipertahankan selama 90 – 120 detik sehingga secara spontan seringkali terjadi penurunan nyeri. Aplikasi tekanan jari-jari tangan secara menetap pada lokasi tender point selama 90 detik disertai dengan pemberian posisi yang nyaman akan menghasilkan penurunan nyeri melalui mekanisme neurologis resetting dan aliran sirkulasi dari jaringan iskemik sebelumnya. Mekanisme tersebut dapat menghasilkan penurunan nyeri yang bermakna. Hal ini terbukti dari hasil uji wilcoxon yang menunjukkan bahwa pemberian Strain-Counterstrain dapat memberikan pengaruh yang bermakna terhadap penurunan nyeri pada penderita syndrome piriformis.
4.    Beda Pengaruh antara Contract Relax Stretching dengan Strain-Counterstrain terhadap penurunan nyeri.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan pengaruh antara Contract Relax Stretching dengan Strain-Counterstrain terhadap penurunan nyeri pada penderita syndrome piriformis. Hal ini menunjukkan bahwa Strain-Counterstrain dapat menghasilkan penurunan nyeri yang lebih besar secara bermakna daripada Contract Reax Stretching pada syndrome piriformis.
Strain-Counterstrain merupakan teknik manipulasi yang menerapkan teknik ischemic compression yang disertai dengan pemberian posisi nyaman pada jaringan yang patologis. Keadaan ini menyebabkan stimulasi pada muscle spindle otot yang mengalami spasme sehingga menghasilkan aktivasi proprioseptor yang mempersarafi muscle spindle. Aktivitas proprioseptor akan menginhibisi impuls nosisensorik yang sebelumnya aktif karena adanya patologi spasme/tightness. Disamping itu, rangsangan terhadap muscle spindle menyebabkan terjadinya relaksasi secara refleks pada otot yang spasme. Kemudian, teknik ischemic compression pada lokasi tender point otot piriformis dapat menghasilkan aliran sirkulasi yang meningkat setelah kompresi dilepas. Disamping itu, tekanan yang menetap pada tender point tersebut dapat menghasilkan hambatan impuls nosisensorik sehingga saat kompresi dilepaskan timbul rasa nyaman (nyeri berkurang) setelah beberapa menit (Leon Chaitow, 2003).
Berbeda dengan efek Contract Relax Stretching yang menghasilkan efek autogenic inhibisi yaitu saat dirangsang terjadi kontraksi maksimal pada otot yang spasme/tightness maka akan diikuti dengan relaksasi pada otot tersebut. Pencapaian relaksasi akan terjadi secara maksimal saat diberikan stretching pasca kontraksi otot. Hal ini yang menghasilkan penurunan spasme/tightness pada otot piriformis yang kemudian menghasilkan penurunan nyeri.
Dengan melihat efek kedua teknik tersebut maka Strain-Counterstrain memiliki efek yang lebih besar karena menimbulkan stimulus pada muscle spindle dan memberikan hambatan impuls nosisensorik sehingga menghasilkan penurunan nyeri yang lebih besar secara bermakna dibandingkan dengan Contract Relax Stretching, sesuai dengan hasil penelitian ini.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka peneliti dapat menyimpulkan sebagai berikut :
1.    Pemberian Contract Relax Stretching dapat memberikan pengaruh yang bermakna terhadap penurunan nyeri pada penderita sindrome piriformis.
2.    Pemberian Strain-Counterstrain dapat memberikan pengaruh yang bermakna terhadap penurunan nyeri pada penderita sindrome piriformis.
3.      Pemberian Strain-Counterstrain dapat menghasilkan penurunan nyeri yang lebih besar secara bermakna daripada Contract Relax Stretching pada penderita syndrome piriformis sehingga dapat dikatakan bahwa Strain-Counterstrain lebih efektif dalam menghasilkan penurunan nyeri daripada Contract Relax Stretching.

SARAN-SARAN
1.     Disarankan kepada laki-laki maupun perempuan sebelum melakukan aktifitas terlebih dahulu melakukan penguluran pada otot piriformis agar otot lebih siap bekerja.
  1. Disarankan kepada fisioterapis di Rumah Sakit atau dilahan praktek agar menggunakan intervensi Strain-Counterstrain sebagai modalitas utama untuk menurunkan nyeri pada penderita sindrome piriformis
  2. Disarankan kepada fisioterapis di Rumah Sakit atau dilahan praktek agar mengkombinasikan intervensi Strain-Counterstrain dengan Contract Relax Stretching sebagai modalitas terpilih untuk menurunkan nyeri pada penderita sindrome piriformis.
DAFTAR PUSTAKA
1.       Carolyn Kisner, Lynn Allen Colby, 1996. Therapeutic Exercise Foundations And Techniques, Third Edition, F.A. Davis Company, Philadelphia
2.       Diana Samara, 2003. Duduk Lama Dapat Sebabkan Nyeri Pinggang, Kompas, Jakarta (http://digilib.litbang.depkes.co.id, diakses 26 April 2010).
3.       Kelly Redden, 2009. Piriformis Syndrome : the other great imitator, Resident Grand Rounds.
4.       Leon Chaitow, 2003. Neuro-muscular Technique A Practitioner’s Guide to Sof Tissue Manipulation, Thorsons Publishers Limited, Wellingborough.
5.       Loren M. Fishman, 2009. Piriformis Syndrome, Article, Humana Press Inc, Totowa, New York.
6.       Lori A. Boyajian et al, 2007. Diagnosis and Management of Piriformis Syndrome : An Osteopathic Approach, Review Article, Vol. 108.
7.       Mahar Mardjono and Priguna Sidharta, 2008. Neurologi Klinis Dasar, PT. Dian Rakyat, Jakarta.
8.       Nancy Hamilton, Kathryn Luttgens, Kinesiology Scientific Basis of Human Motion, Mc Graw Hill, New York, 2002.
9.       Nathan L, 2008. Strain/Counterstrain, Uhl Publications, http://www.brainybetty.com, acces at April, 23, 2010.
10.   Nugroho D.S., Neurofisiologi Nyeri dari Aspek Kedokteran (Makalah disampaikan pada Pelatihan Penatalaksanaan Fisioterapi Komprehensif Pada Nyeri), Surakarta, 7 – 10 Maret 2001.
11.   Samir Mehta et al, 2006. Piriformis Syndrome, Article Extra-Spinal Disorders, Slipman.
12.   Sara Douglas, 2002. Sciatic Pain and Piriformis Syndrome, http://Gateway/d/Kalindra/ piri_np.htm, acces at March, 30, 2010.
13.   Soekidjo Notoatmodjo, 2002. Metode Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.
14.   Sugijanto, 2009. Introduksi Manual Spine, (Disampaikan pada Kuliah Program D.IV Fisioterapi Makassar), Makassar, 18 – 20 Juni 2009.
15.   Sugiyono, 2007. Statistika Untuk Penelitian, CV. Alfabeta, Bandung.
16.   Wikipedia, 2010. Piriformis Syndrome, http://en.wikipedia.org/wiki/Piriformis_ syndrome, acces at March, 30, 2010.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar